Hasil Pilkada 2018 dan Peta Pilpres 2019

2. Peluang Oposisi di 2019

Pilkada serentak juga membuka peta persaingan baru antara partai pengusung Jokowi dengan oposisi. Sebab di sisi lain, oposisi mencatat sejumlah peningkatan suara di daerah yang pada 2014 menjadi basis kekuatan Jokowi.

Hasil di DKI pada 2017 tentu menggambarkan kekuatan oposisi. Formula kekuatan oposisi terletak pada kesolidan mesin partai, seperti PKS dan Gerindra.

Tapi kekuatan utama dari oposisi Jokowi adalah keberadaan alumni Gerakan 212. Tak bisa dipungkiri, Pilkada DKI 2017 telah menciptakan spektrum baru dalam perpolitikan nasional.

Warna baru muncul dalam perpolitikan nasional adalah kekuatan antara umat dan ulama dalam Gerakan 212. Sifat dari gerakan ini begitu cair dengan ulama yang menjadi motor dari setiap gerakan umat.

Kesuksesan Gerakan 212 ini makin tergambang dari hasil Pilkada serentak 2018. Yang paling fenomenal adalah melejitnya suara Sudirman Said-Ida Fauziah di Jawa Tengah. Di basis kekuatan utama pemerintah, Sudirman mampu mencuri lebih dari 40 persen suara. Padahal, dia berlaga di kandang banteng yang dikenal sebagai basis kekuatan PDIP.

Sumatera Utara yang juga menjadi basis PDIP juga berhasil direbut oleh koalisi Gerindra lewat kemenangan telak Edy Rahmayadi dan Musarajekshah. Padahal, hitungan sebelum Pilkada hasil survei menunjukkan perolehan suara dari pasangan ini hanya terpaut tipis dari Djarot-Sihar.

Tapi, gerakan ulama yang dimotori Tengku Zulkarnain dan ustaz kondang Abdul Somad mampu membalik konstelasi di Sumatera Utara. Pun halnya di Jawa Barat. Sudjarat-Syaikhu yang popularitas awalnya hanya di bawah tujuh persen, tiba-tiba bisa menyodok.

Ini tak terlepas dari gerakan masif para ulama yang ramai membanjiri media sosial untuk mendukung Sudrakat-Syaikhu.

Walhasil, mengukur kekuatan oposisi sepanjang Pilkada 2018 jangan sekadar mengukur hasil menang kalah. Tapi dengan melihat kenaikan elektabilitas yang signifikan di tiap wilayah yang jadi kantong oposisi.