Beberapa jam menjelang pencoblosan di Jatim, ada pernyataan dari Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto yang menyebut Jokowi mendukung Khofifah Indar Parawansa untuk jadi gubernur. Padahal di sisi lain, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri turun gunung untuk memenangkan rival Khofifah, yakni Gus Ipul dan Puti Soekarno.
Pernyataan itu membuat PDIP berang dan menyebut Airlangga sedang mengadu domba Jokowi dan Mega. Satu hal yang bisa diamati serius bahwa Ketum Golkar yang tak lain adalah menteri Jokowi.
Sang menteri secara terbuka berani menyebut posisi politik sang presiden di Jatim. Di sisi lain, Jokowi tak pernah membantah secara langsung pernyataan Airlangga.
Apa seberani itu seorang Airlangga mencatut nama Jokowi? Atau justru pernyataan Airlangga itu adalah sikap politik Jokowi yang sesungguhnya?
Tak hanya di Jatim, Jabar juga memperlihatkan sebuah anomali. Ridwan Kamil nyatanya merupakan calon yang paling awal didukung Nasdem. Sama seperti Golkar, Nasdem merupakan partai yang secara sukarela menyerahkan tiket pilpres 2019 pada Jokowi.
Suara Golkar di DPR mencapai 16,2 persen. Jika ditambah Nasdem yang mengantongi 6,4 persen maka Jokowi sudah aman maju untuk 2019 dengan suara total di atas 20 persen presidential threshold. Makin manis lagi bagi Jokowi, sebab dia bisa maju dengan keleluasaan untuk mencalonkan wapres pilihannya sendiri.
Golkar dan Nasdem memberi tiket pada Jokowi tanpa embel-embel tuntutan terkait posisi cawapres. Jokowi jelas punya posisi tawar sangat tinggi dan cukup strategis di kedua partai itu. Sebab dengan Nasdem dan Golkar saja, Jokowi sudah cukup mengantongi tiket untuk bertarung di 2019.
Di sisi lain, PDIP justru lebih aktif dalam mendikte penentuan siapa cawapres Jokowi. Posisi tawar Jokowi di PDIP pun coba dikerdilkan di sejumlah kesempatan dengan sebutan bahwa dia hanya seorang petugas partai.
Karena itu, di balik manuver politik Nasdem di Jabar dan Golkar di Jawa Timur, banyak yang menilai ada sosok Jokowi yang pegang kunci.