Dagestan, sebuah provinsi di Kaukasus Utara ibarat duri dalam daging bagi Rusia. Sejak runtuhnya Uni Sovyet di era tahun 1990-an, provinsi yang masih berada di bawah kekuasaan Kremlin ini tak henti diguncang berbagai aksi-aksi kekerasan mulai dari pemberontakan, ketegangan antar etnis dan serangan-serangan mematikan.
Dagestan seakan menjadi tempat subur bersemainya organsasi-organisasi kejahatan terorganisasi yang membuat aksi-aksi kekerasan dan pelanggaran hukum makin marak di provinsi itu. Para mafia minyak dan kaviar menjamur, baku tembak dan pembunuhan menjadi pemandangan biasa.
Organisasi International Crisis Group menuding kelompok Islamis bersenjata Shariat Jamaat bertanggung jawab atas banyak aksi-aksi kekerasan di Dagestan. Kelompok ini, menurut ICG adalah bagian dari organisasi Front Kaukasia yang didirikan tahun 2005 dan mengambil jalur perlawanan dengan target mendirikan sebuah "emirat" untuk menyatukan seluruh wilayah Kaukasus Utara. Sementara Rusia menuding para pejuang Muslim dari Chechnya-negara tetangga Dagestan-sebagai pihak yang menyuburkan gerakan-gerakan separatis di Dagestan dan pelaku berbagai aksi kekerasan di wilayah Kaukasus Utara.
Di Dagestan, nama Adalio Aliyev menjadi saksi sejarah perlawanan pejuang-pejuang Muslim untuk membebaskan Dagestan dari kekuasaan Rusia. Tokoh yang kini berusia 77 tahun itu menjadi "pahlawan" bagi para pejuang Muslim di Dagestan tapi menjadi "musuh" yang patut diwaspadai oleh Rusia dan pemerintahan boneka Rusia di Dagestan.
Pemerintahan Dagestan dibawah kepemimpinan Presiden Mukhu Aliyev yang menjadi kaki tangan Rusia, melarang sekolah-sekolah di Dagestan untuk menggunakan buku-buku karya Adalio. Bahkan puisi-puisi karya Adalio dihapus dari semua buku teks sekolah sejak tahun 1999. Radio nasional juga melenyapkan lagu-lagu yang syairnya diambil dari bait-bait puisi karya Adalio.
Adalio memang bukan sebatas "pemimpin spiritual" para pejuang Muslim di Dagestan, karena ia juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Selama hidupnya, Adalio menulis sekitar 30 buku yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Avaria- etnis dominan di Dagestan-, Rusia dan bahasa Turki. Ia juga seorang penyair dan karya-karya diakui sebagai salah satu karya sastra terbaik di Kaukasus.
Adalio kini tinggal di sebuah apartemen kecil di kota Makhachkala, ibukota Dagestan bersama isterinya. Seluruh teman seperjuangannya di Chechnya hampir semuanya tewas oleh senjata tentara Rusia dalam berbagai operasi militer pasca runtuhnya Uni Sovyet.
Dzokhar Dudayev, presiden pertama Republik Ichkeria, Chechnya adalah salah seorang teman seperjuangan Adalio yang mendeklarasikan jihad untuk melawan Rusia. Seketika itu pula, mengalir para pejuang Muslim dari berbagai negara ke Chechnya, termasuk dari Dagestan.
Rusia yang tidak perang mengakui kedaulatan Republik Ichkeria berhasil membunuh Dudayev dengan dua misil laser pada tahun 1996. "Ia (Dudayev) senang menulis puisi dan isterinya adalah seorang seniman yang sangat berbakat. Jika bertemu, kami tidak pernah membahas soal politik. Pembicaraan kami didominasi oleh tema budaya dan sastra," ujar Adalio mengenang Dudayev. Setelah kematian Dudayev, komandan pasukan gerilya digantikan oleh Shamil Basayev.
Militer Rusia tidak segan-segan mengalokasikan dana jutaan dollar untuk membiayai operasi-operasi memburu para pejuang Muslim di sejumlah wilayah bekas Uni Sovyet yang masih berada di bawah kekuasaan Rusia. Para pejuang Muslim itu kerap disebut pemberontak, sementara mereka mengklaim sebagai gerakan perlawanan.
Sebagai sosok pergerakan Muslim, Adalio terkesan hati-hati untuk berkomentar tentang gerakan perjuangan Muslim di kawasan Kaukasus. "Saya orang yang punya kebanggaan. Mengapa setelah 100 tahun Rusia merasa perlu memberi makan kami? Saya malu melihat Rusia memenuhi segala kebutuhan kami. Saya lebih suka makan roti sendiri dan hidup diatas kaki sendiri," tutur Adalio.
"Sulit bagi kami untuk melihat dengan jernih apa yang terjadi terutama beberapa tahun belakangan ini. Hanya waktu yang bisa menilai akan seperti apa Vladimir Putin (perdana menteri Rusia) dan perjuangan para pejuang Chechnya," ujarnya menutup pembicaraan. (ln/aljz)