Gara-gara Memasukkan Tiga Anaknya ke Madrasah, Muslimah Uyghur Dihukum Rezim Komunis 21 Tahun Penjara

ILUSTRASI – Anak-anak Uyghur bermain di dekat kerangkeng pengaman yang melindungi serdadu paramiliter Cina di Urumqi, ibu kota Daerah Otonomi Uyghur Xinjiang (Turkistan Timur). Foto: AP

Eramuslim.com – Dua puluh tahun yang lalu, ketika Ayshemhan Abdulla, mengirim ketiga anaknya yang masih remaja ke sebuah rumah madrasah di dekatnya, dia tidak tahu bahwa tindakannya tersebut nantinya akan membuatnya dipenjara selama 21 tahun.

Pada saat itu, ibu rumah tangga yang kini berusia 62 tahun itu mengira dia melakukan yang terbaik untuk kedua putrinya dan satu putranya dengan memastikan mereka menerima pelajaran agama Islam.

Ketika rezim komunis Cina melakukan “serangan keras” di Xinjiang pada tahun 2014, mereka menjatuhkan hukuman berat kepada warga Uyghur, menangkap mereka secara sewenang-wenang, dan memulai kampanye propaganda untuk melawan adat etnis dan keyakinan agama kelompok minoritas tersebut.

Rezim komunis Cina menghancurkan masjid, membatasi praktik keagamaan, melarang pakaian Islami dan janggut panjang untuk laki-laki, melarang nama Islami untuk anak-anak, dan melarang puasa selama bulan suci Ramadhan.

Pada 2017, situasi kelompok minoritas yang tertindas itu semakin memburuk. Rezim komunis mulai mengurung sekira 1,8 juta warga Uyghur dan minoritas Turki lainnya di dalam kamp “pendidikan ulang”; yang sejatinya merupakan kamp penyiksaan dan doktrinasi komunisme.

Rezim komunis Cina menjadikan warga Uyghur sebagai objek pengawasan ketat, penyiksaan, kerja paksa, sterilisasi paksa, dan berbagai pelanggaran HAM berat lainnya.

Ayshemhan menjadi salah satu yang terjebak dalam jaring otoritas Cina di Xinjiang. Mereka menangkap Ayshemhan dan menghukumnya 21 tahun penjara pada 2017 karena menyekolahkan anak-anaknya ke sebuah sekolah agama, kata seorang kepala keamanan dari desanya di wilayah Qarayaghach.

“Dia menjalani hukuman penjara di Penjara Wanita Baykol di kota Ghulja,” kata pria yang menolak disebutkan namanya karena khawatir akan keselamatannya.

“Untuk setiap anak yang dia kirim, dia menerima tujuh tahun penjara.”

Rezim juga membawa anak-anak Abdulla ke sebuah kamp dan menahan mereka selama lebih dari setahun, tetapi kemudian membebaskan mereka, kata kepala keamanan desa.

Muslimah lain di Qarayaghach mengalami nasib serupa.

Halide Qurban, seorang warga Uyghur dari desa yang sama dengan Abdulla, menerima hukuman 18 tahun penjara, yaitu 14 tahun karena menyekolahkan kedua anaknya ke sekolah agama dan empat tahun karena kegiatan ibadah “ilegal”, kata petugas keamanan desa.

“Dia adalah seorang wanita buta huruf dan dia meninggal di penjara karena dia menderita diabetes,” kata seorang mantan polisi Uyghur, yang menolak menyebutkan namanya karena takut akan keselamatannya.

[sumber: sahabat al-aqsha]