Saat ini di gedung parlemen tengah dibahas RUU Intelijen. Dalam RUU tersebut ada sejumlah pasal karet, yang bila tidak diwaspadai bisa melahirkan kembali rezim represif seperti atau bahkan lebih represif dari rezim orde baru.
Dalam RUU tersebut ada kalimat atau frase yang tidak didefinisikan dengan jelas, sehingga berpeluang menjadi pasal karet, seperti frase ‘ancaman nasional’ dan ‘keamanan nasional’. Juga frase ‘musuh dalam negeri’, tidak jelas siapa dan apa kriterianya. Rumusan yang tidak jelas, kabur, cenderung multi tafsir ini sangat mungkin disalah gunakan. Bisa jadi, sikap kritis masyarakat atas kebijakan pemerintah akan dibungkam dengan dalih mengancam ‘keamanan nasional’ dan stabilitas, serta dianggap musuh ‘dalam negeri’.
Selain itu juga dalam RUU itu diusulkan pemberian wewenang kepada BIN untuk melakukan penangkapan dan pemeriksaan intensif (interogasi) paling lama 7×24 jam. Dan masih banyak lagi yang harus dicermati.
Terkait masalah ini, kemarin siang (7/4) ormas-ormas Islam berkumpul di kantor DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) untuk menyikapi RUU Intelijen dan memberikan pernyataan sikap bersama akan hal tersebut.
Dalam keterangan persnya yang dibacakan oleh Ismail Yusanto (juru bicara HTI) ormas-ormas Islam menyatakan penolakannya terhadap RUU Intelijen dan meminta kepada aparat terkait untuk membatalkan/mengoreksi kalimat yang bias dan bisa menimbulkan multi tafsir, karena akan membahayakan kehidupan masyarakat, khususnya aktivitas dakwah dan umat Islam.
Selain itu menurut Joserizlal Jurnalis (Presidium MER-C), bahwa RUU ini disosialisasikan dengan cara memunculkan bom buku di mana-mana, yang sampai saat ini tidak jelas siapa pelakunya. (mzs)