Pekerjaan mengais barang-barang bekas dari toko atau tempat sampah bukanlah pekerjaan hina, asal dilakukan dengan tekun dan sabar, insya Allah bisa menghasilkan.
Contohnya Pak Toyib, lelaki asal Pemalang, Jawa Tengah ini telah menekuni pekerjaan sebagai pemulung sejak 5 tahun yang lalu. Padahal sebelumnya, sewaktu beliau bujangan pernah bekerja sebagai penjaga toko elpiji dikawasan Mampang, Jakarta Selatan.
Pekerjaan itu juga dilakoni selama lima tahunan. Namun, setelah menikah di kampungnya pada tahun 1991, pak Toyib bekerja sebagai petani. Bosan sebagai petani akhirnya beliau kembali hijrah ke Jakarta pada tahun 2005 bersama keluarganya dan terdamparlah pak Toyib di Kampung Pemulung Pancoran Buntu 2, Jakarta Selatan. Setiap pagi pak Toyib berangkat untuk beraktivitas pada pukul 5 pagi usai melakukan sholat subuh dan kembali ke lapak sekitar jam 10.
Wilayah kerjanya meliputi Menteng Dalam dan Patra Kuningan. "Penghasilan saya tak menentu, kalau lagi sepi seperti sekarang ini paling dapat 15-20 ribu, kalau lagi ramai bisa mencapai 30 ribu", begitu jawab pak Toyib ketika ditanya pendapatannya perhari. Selain itu, bapak dua anak ini, satu perempuan sudah menikah dan satu lagi laki-laki 11 tahun baru kelas 4 SDN 05 Pengadegan, punya ‘side job’, pada siang hari jam 13 mengangkut sampah di perkantoran daerah Kali Bata dengan penghasilan perbulan 150 ribu.
Penghasilan itu cuma cukup untuk makan dan biaya anak sekolah setelah ditambah dengan penghasilan istrinya yang bekerja sebagai penjaga warung milik ‘bos’-nya. Mereka bertiga tinggal di sebuah ruangan berukuran 2×1 dari bahan triplek yang dibuat berjajar sebanyak 10 ruangan di dalam perkampungan tersebut yang tidak jauh dari limbah plastik dan barang-barang bekas lainnya. Tapi, yang membahagiakan adalah mereka bisa membangun sebuah musholla secara swadaya, walaupun masih perlu uluran tangan para dermawan berupa pengeras suara dan karpet. (M. Zakir Salmun)