Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia (GPMI) yang dikomandoi oleh Ahmad Sumargono Senin (30/5) menggelar seminar sehari yang mengupas tentang Piagam Jakarta, Pancasila dan UUD’45. Acara yang berlangsung di gedung Menara Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia ini hanya sedikit dihadiri generasi muda yang rata-rata awam tentang ketiga hal tersebut di atas. Yang terlihat justru banyak kalangan generasi tua.
Hadir sebagai pembicara Ridwan Saidi, Firos Fauzan dan Adian Husaini dengan moderator Ahmad sumargono yang akrab disapa Bang Gogon. Seminar inhi sendiri diadakan dengan maksud agar aktifis muda Islam memahami masalah sejarah kebangsaan ini. Agar jelas bagi umat Islam Indonesia, bagaimanakah sesungguhnya kedudukan Pancasila dalam konteks dinamika kebangsaan kita? Apakah benar Pancasila dengan rumusan saat ini sudah final seperti yang disampaikan dan diyakini para elit politik, termasuk elit partai dakwah?
“Kembali kepada UUD’45 dulu(yang asli)supaya lebih normal, jangan ada ide-ide yang lain dulu, karena dengan perubahan yang diadakan oleh reformasi betul-betul menjadi gak karuan. UUD’45 diacak-acak oleh reformasi sehingga biaya pilkada menjadi mahal. Mereka(rezim SBY) yang menyingkirkan dan mereka pula yang ingin membangkitkan Pancasila. Pancasila bukan harga mati, karena itu bukan barang dijual beli, jadi gak pake harga. Itu gak ada harganye”, begitu ujar Ridwan Saidi yang tidak bisa berlama-lama dalam seminar tersebut, karena ada acara di tempat lain.
Lain lagi yang diungkap oleh Firos Fauzan (mantan Kol. Inf. TNI) bahwa peristiwa pembantaian jendral-jendral TNI-AD oleh G-30 S PKI sebenarnya terjadi pada 1 Oktober 1965 bukan 30 September 1965 seperti yang beredar selama ini, bahkan dijadikan opini oleh para steakholders yang memang berkeinginan memetik keuntungan dari peristiwa tersebut. Menurut Firos seharusnya dinamakan Hari Penghianatan Pancasila bukan Hari Kesaktian Pancasila dsn Kudeta Dewan Revolusi 1 Oktober 1965 sebagai sasaran pokok, sedangkan Gerakan 30 September 1965 baru sasaran antara.
Pada giliran berikutnya Adian Husaini, pemikir muda Islam, mengulas dengan gamblang permasalahan Pancasila. Menurut Ketua Program Studi Pendidikan Islam Pasca Sarjana Universitas Ibnu Khaldun Bogor ini, Benarkah 1 Juni sebagai hari kelahiran Pancasila sebagaimana yang diperingati sebagian kalangan di Indonesia?
Istilah “Pancasila”disebutkan oleh Soekarno di depan Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 1 Juni 1965. Tiga hari sebelum pidato Soekarno, Muhammad Yamin sudah terlebih dahulu menyampaikan pidatonya yang juga mengandung usulan lima dasar bagi Indonesia Merdeka, yaitu (1) peri kebangsaan, (2) peri kemanusiaan, (3) peri Ketuhanan, (4) peri kerakyatan dan (5) kesejahteraan rakyat.
Tidak ada perbedaan fundamental antara lima asas Yamin dengan lima dasar Soekarno. Menurut Mohammad Roem, panjang naskah pidatonya pun sama, yaitu 20 halaman. Karena itulah BJ. Boland dalam bukunya, The Struggle of Islam in Modern Indonesia(The Hague: Martinus Nijhoff, 1971), menyimpulkan bahwa “The Pancasila was in fact a creation of Yamin’s and not Soekarno’s.” (Pancasila faktanya adalah karya Yamin dan bukan karya Soekarno).
Sebagian lain menyebut, bahwa yang tepat kelahiran Pancasila adalah 22 Juni. Sebab pada 22 Juni 1945, untuk pertamakalinya dikeluarkan rumusan Pancasila secara resmi yang disepakati semua faksi dalam BPUPK. Tetapi ada yang menyebutkan , bahwa yang lebih tepat untuk peringatan kelahiran Pancasila adalah 18 Agustus. Sebab pada 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia(PPKI)menyepakati rumusan Pancasila yang seperti sekarang ini.
Jadi, peringatan kelahiran Pancasila pada 1 Juni dan menyandarkannya pada Bung Karno, masih perlu penelaahan sejarah yang lebih serius. Bukti-bukti sejarah justru menunjukkan bahwa rumusan Pancasila resmi saat ini lahir pada 18 Agustus 1945. Oleh sebab itu, lebih tepat jika hari lahir Pancasila disebut tanggal 18 Agustus 1945. (mzs)