Sejumlah kajian dan penelitian telah mencoba mengungkap berapa sesungguhnya potensi zakat yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sebagai contoh, Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta menyimpulkan bahwa potensi zakat nasional mencapai angka Rp 19,3 triliun. Demikian pula dengan riset Monzer Kahf yang dikutip oleh Habib Ahmed, yang menyatakan bahwa skenario optimis potensi zakat nasional bisa mencapai angka dua persen dari total PDB. Sehingga, potensi zakat per tahunnya tidak kurang dari Rp 100 triliun.
Untuk menganalisa potensi zakat tersebut secara lebih tajam, Badan Amil Zakat Nasional pada awal tahun ini, bekerjasama dengan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB, mencoba mengeksplorasi potensi zakat nasional dengan menggunakan data yang diolah dari SUSENAS (Survey Sosial Ekonomi Nasional) BPS, serta data institusi lain yang relevan seperti Bank Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan gambaran tentang kondisi aktual potensi zakat yang dapat direalisasikan ke depannya.
Potensi Zakat
BAZNAS dan FEM IPB mengklasifikasikan potensi zakat nasional ini ke dalam tiga kelompok besar. Pertama, potensi zakat rumah tangga secara nasional. Kedua, potensi zakat industri menengah dan besar nasional, serta zakat BUMN. Potensi yang dihitung pada kelompok yang kedua ini adalah zakat perusahaan, dan bukan zakat direksi serta karyawan. Ketiga, potensi zakat tabungan secara nasional.
Khusus mengenai zakat rumah tangga, standar nishab yang digunakan adalah nishab zakat pertanian, yaitu sebesar 524 kg beras. Adapun kadar zakat yang dikeluarkan adalah 2,5 persen. Ini sejalan dengan kebijakan BAZNAS yang menetapkan analogi zakat profesi atau penghasilan pada dua hal, yaitu zakat pertanian untuk nishabnya, dan zakat emas perak untuk kadarnya. Pendekatan ini disebut sebagai qiyas syabah.
Detil potensi zakat ketiga kelompok tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan tabel tersebut, potensi zakat rumah tangga secara nasional mencapai angka Rp 82,7 triliun. Angka ini equivalen dengan 1,30 persen dari total PDB. Sedangkan potensi zakat industri mencapai angka Rp 114,89 triliun. Pada kelompok industri ini, industri pengolahan menyumbang potensi zakat sebesar Rp 22 triliun, sedangkan sisanya berasal dari kelompok industri lainnya. Adapun potensi zakat BUMN mencapai angka Rp 2,4 triliun.
Khusus mengenai potensi zakat industri ini, yang dihitung adalah zakat dari laba bersih yang dihasilkan, sebesar 2,5 persen. Jika mengikuti formula Abu Ubaid dalam kitab Al-Amwal, dimana modal, inventory (persediaan), dan piutang yang diterima dihitung sebagai penambah zakat, serta utang jatuh tempo perusahaan sebagai pengurang zakat, maka angka potensi zakatnya bisa lebih besar lagi. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa potensi zakat industri ini adalah potensi zakat minimal yang dapat dihasilkan.
Sementara itu, potensi zakat tabungan mencapai angka Rp 17 triliun. Angka ini didapat dari penjumlahan potensi dari berbagai aspek, antara lain potensi zakat tabungan di bank syariah, tabungan BUMN atau pemerintah campuran, badan usaha bukan keuangan milik negara, bank persero dan bank pemerintah daerah. Tabungan yang dihitung adalah yang nilainya berada di atas nishab 85 gram emas. Khusus mengenai tabungan di bank syariah, potensi zakat giro wadi’ah dan deposito mudharabah mencapai angka masing-masing sebesar Rp 155 miliar dan Rp 740 miliar.
Jika diagregasikan, maka nilai potensi zakat secara nasional mencapai angka Rp 217 triliun, atau setara dengan 3,40 persen dari total PDB. Angka ini akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah PDB. Tingginya prosentase potensi zakat terhadap total PDB merupakan bukti bahwa zakat dapat dijadikan sebagai instrumen penting untuk menggerakkan perekonomian nasional, khususnya kelompok dhuafa. (mzs)