Taryono, 32 tahun, sopir bemo jurusan Tanah Abang-Karet ini sudah bergelut dengan deru dan debu kota metropolitan selama 15 tahun. Putra Tegal yang sudah memiliki istri dan 2 anak ini mengaku setiap harinya cuma mendapat 30-35 ribu dari hasil menarik bemo. Penghasilan tersebut digunakannya untuk membiayai keluarganya dengan seorang anak yang kini sudah kelas 5 SD, sedangkan penghasilan lain tidak ada.
Masalah baru muncul lagi, ketika Dinas Perhubungan DKI Jakarta secara sepihak akan mengganti bemo dengan kendaraan lain. Inilah yang membuat Taryono dan kawan-kawannya sesama sopir tadi pagi, 19 Juli 2010 mendatangi Balaikota untuk mempertanyakan masalah ini kepada Gubernut DKI Jakarta, yang mereka sebut sebagai ‘ahlinya’.
Mereka menuntut percepatan soal ijin prinsip Angkutan Pengganti Bemo, jangan sampai terrkatung-katung apalagi tidak jelas dan agar para sopir/serikat pekerja sopir dilibatkan dalam hal ini.
Kalau anda melintasi Balaikota DKI Jakarta, Insya Allah anda akan menemui para penjaja minuman bersepeda. Salah satunya adalah Rohman, 26 tahun asal Madura. Untuk memulai usahanya, Rohman harus mengeluarkan uang sebesar sejuta untuk membeli sepeda dan kebutuhan lainnya.
Lelaki yang baru sebulan merasakan kerasnya kehidupan kota Metropolitan ini, setiap pagi, usai sholat subuh sudah mengayuh sepedanya dari daerah Senen menuju Balaikota. Sekitar jam 5 sore Rohman kembali ke rumah kontrakannya.
"Kalau sehari bisa dapat 20-25 ribu, tapi kalau ada demo bisa dapat sampai 50 ribu," begitu jawab Rohman ketika ditanya penghasilannya sehari. Penghasilan ini hanya cukup untuk makan, bayar kontrakan dan beli pulsa telpon.
Ketika ditanya kenapa harus pakai HP? Dengan tangkas Rohman menjawab, "Untuk komunikasi dengan keluarga di kampung."
Jadi, tidak perlu heran kalau pedagang kecil sekarang sudah pakai HP, mereka memakainya sebatas fungsi dan kegunaannya, yaitu komunikasi. (M. Zakir Salmun)