Menembus kemacetan dari Gondangdia menuju Pancoran, akhirnya reporter eramuslim berhasil sampai di perkampungan pemulung Pancoran Buntu tepat adzan maghrib. Setelah mencari-cari dan bertanya apakah ada acara buka puasa bersama di lokasi tersebut, ternyata belum pernah ada buka puasa bersama di tempat itu.
Akhirnya kami berinisiatif masuk ke lorong yang terdapat gubug-gubug tempat mereka beristirahat dan berteduh. Disitulah terlihat beberapa pria berkumpul dan mengobrol usai berbuka puasa. Mereka hanya ditemani segelas besar teh manis hangat. Setelah ditanya, dengan apa mereka berbuka? Mereka menunjuk gelas berisi teh tersebut, subhanallah. Mereka hanya berbuka dengan segelas teh untuk diminum bersama dan beberapa batang rokok. Setelah itu baru mereka makan ‘besar’ (nasi beserta lauknya).
Seorang pemulung yang bernama Sukma(33) asal Lamongan biasa makan seharga lima ribu rupiah dengan lauk pala ayam, tahu goreng plus sayur, itupun dibayar sepekan kemudian alias ngutang. Lain lagi halnya dengan Puryono (20) yang baru 2 tahun di Jakarta membantu mengawasi lapak kakaknya. Pria asal Boyolali ini biasa berbuka debgan menu fovoritnya telor ceplok dikecapin, tahu goreng, sayur dan krupuk ditambah es teh manis. Cukup dengan membayar enam ribu rupiah Puryono terpuasi. Mereka rata-rata berpenghasilan 15-20 ribu perhari.
Begitulah kehidupan mereka, para pemulung yang harus bersusah payah untuk sekedar mendapatkan makanan berbuka mereka. Sementara di sekitar perkampungan mereka banyak rumah mewah dan perkantoran megah. (M. Zakir Salmun)