“Guru di sekolah adalah jendela untuk dunia. Mereka mengajari arti dari kata Rohingya. Siapa yang memberi tahu mereka tentang sejarah kami dan tentang berapa lama kami hidup di sana sebagai komunitas? Tentu saja guru,” ujar Arif Hossein (31), seorang mantan guru sekolah dasar Khular Bil di Maungdaw.
Sebelum aksi kekerasan kembali terjadi pada 25 Agustus lalu, ia mengaku selalu diikuti seorang informan ketika mengajar. “Saya tidak bisa berbicara (bahasa Rohingya). Informan akan mengikuti saya setiap hari, setiap kali saya meninggalkan rumah. Polisi pemerintah akan datang pada malam hari dan menuduh saya memberikan ‘makanan’ yang salah kepada para pemberontak dan rumah saya digeledah,” ungkap Hossein.
Hossein juga menuturkan ia pernah dipukuli bersama 18 guru Rohingya lainnya dengan tangan terikat dan wajah menghadap tanah pada 2012. Dia kemudian menghabiskan waktu empat tahun di penjara karena tuduhan membakar rumah, dan dibebaskan pada 2016.
Empat hari sebelum kekerasan yang terjadi pada 25 Agustus, dia mengatakan sekitar 300 tentara mengepung rumahnya. Dia diborgol dengan putranya dan dibawa ke sekolah. Tentara menyita apa pun yang mereka pikir mungkin telah digunakan untuk membantu para pemberontak. Putranya ditendang dan dipukuli. (rol)