Thomas MacManus, pengamat kejahatan negara internasional di Queen Mary University of London yang telah meneliti Rohingya sejak 2012, juga menyampaikan pendapatnya. “Tujuannya tampaknya untuk menghancurkan Rohingya, dan salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan menghancurkan budaya mereka dan menghapus mereka dari sejarah. Itu bagian dari taktik genosida,” papar MacManus.
Kantor Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB juga telah melakukan wawancara dengan 65 pengungsi Rohingya di Bangladesh. Hasil laporannya yang diterbitkan pada September lalu menunjukkan pasukan keamanan Myanmar telah menargetkan guru, pemimpin budaya dan agama, serta orang-orang berpengaruh lainnya di komunitas Rohingya dalam upaya untuk menghapus sejarah, budaya, dan pengetahuan tentang Rohingya.
Penargetan itu terorganisir dengan baik, terkoordinasi, dan dilakukan secara sistematis. Mayoritas umat Buddha telah lama mencela Rohingya dengan menyebutnya sebagai imigran Bengali di Negara Bagian Rakhine utara dan membatasi mereka untuk mempertahankan budaya mereka.
Sebuah laporan Amnesty International pada November lalu mendokumentasikan sistem diskriminasi dan pemisahan bagi Rohingya, yang bertujuan menghapus identitas mereka. Sejak pecahnya kekerasan komunal Buddha-Muslim pada 2012, anak-anak Rohingya telah dicegah untuk bersekolah di sekolah Buddhis.
Guru-guru resmi pemerintah juga sering menolak untuk datang ke desa-desa Rohingya karena khawatir akan keamanan di sana. Dengan demikian, sebagian besar pendidikan anak-anak Rohingya diserahkan kepada sekolah komunitas lokal yang dikelola oleh guru sukarelawan yang tidak terlatih.
Guru Rohingya yang diwawancarai oleh AP mengaku mereka hanya dibayar dari sumbangan masyarakat. Mereka juga dilarang mengajar bahasa, sejarah, dan budaya Rohingya, dan harus berbicara bahasa Burma. Banyak juga yang mengatakan mereka bahkan dilarang menggunakan kata ‘Rohingya’.