Eramuslim – Pengungsi Rohingya di kamp pengungsian Balukhali di Bangladesh memberikan pengakuan baru yang cukup mengejutkan. Menurut mereka, tentara-tentara Myanmar banyak menargetkan warga Rohingya yang berpendidikan tinggi, seperti guru dan ulama, dalam aksi pembantaian di Negara Bagian Rakhine.
Setelah serangan brutal pada 25 Agustus tahun lalu, tentara Myanmar di desa Maung Nu sempat bertanya kepada penduduk desa, “Di mana para guru?”. Rahim (26 tahun), seorang guru ilmu pengetahuan dan matematika di sekolah menengah batalyon setempat, mengaku segera melarikan diri begitu melihat para tentara itu datang ke desanya.
“Saya tahu saya sudah mati jika tertangkap. Mereka memburu saya. Mereka tahu saya akan selalu berjuang untuk rakyat (Rohingya). Mereka ingin menghancurkan kami (guru) karena mereka tahu tanpa kami, mereka dapat melakukan apapun yang mereka inginkan untuk warga Rohingya lainnya,” ungkap Rahim, yang hanya memiliki satu nama.
Para pengamat kemudian membandingkan genosida yang terjadi di Myanmar dengan peristiwa genosida lainnya, termasuk Holocaust. Mendengarkan kisah-kisah ini, kedengarannya sangat mirip.
Pertama Anda akan membunuh para pemimpin agama atau pemimpin politik, dan kemudian Anda mulai membunuh penduduk sipil, dan Anda mulai membunuh lebih banyak lagi, kata Karen Jungblut, direktur penelitian di USC Shoah Foundation, yang telah melakukan wawancara dengan pengungsi Rohingya di Bangladesh.
“Ini tampaknya bukan kekerasan regional yang terjadi secara acak di sana-sini, hanya karena Myanmar merasa diserang oleh ‘kelompok teroris.’ Rasanya hal ini telah terorganisir,” ungkap Jungblut.