eramuslim.com – Semenjak dimulainya serangan darat ke Jalur Gaza, penjajah telah umumkan akan mematikan pasokan air, saluran listrik hingga komunikasi. PM Israel Benjamin Netanyahu menyatakan, Zionis akan menghentikan pasokan listrik, bahan bakar minyak, dan makanan ke Gaza.
Tak hanya itu, zionis terus membombardir tempat-tempat vital. Enam distrik di Gaza telah hancur.
Takdir berkehendak lain, saat penjajah berharap blokade membuat warga Gaza sekarat, Allah justru merunkan berkah hujan dari langit secara gratis, yang disambut gembira warga Gaza yang sedang dizalimi.
“Dengan krisis air di Gaza, warga Palestina menghilangkan dahaga mereka dengan hujan di bulan November,” tulis akun @ Time Of Gaza.
Seorang anak laki-laki Gaza menampakkan rasa gembiranya dengan bersyukur kepada Allah karena telah menurunkan hujan, di tengah tekanan dan kesulitan mendapatkan air akibat pengepungan penjajah yang sedang berlangsung.
Di tempat lain, puluhan anak-anak bemain-main air hujan dengan gembira. “Anak-anak Gaza bergegas bermain di tengah hujan hari ini, dengan putus asa berharap awan dan curah hujan akan menyulitkan jet tempur Israel,” tulis Muhammad Shehada, Kepala Program dan Komunikasi Euro-Med Monitor, di akun media X, yang dulu bernama Twitter.
“Ini adalah bangsa yang tidak akan pernah bisa dikalahkan karena memiliki cinta di dalam hatinya,” tulis pakar sejarah Karim Wafa al-Khusaini.
Berkah Sekaligus Tantangan
Hujan deras yang mengguyur Jalur Gaza hari ini (14/11/2023) menjadi berkah sekaligus tantangan baru bagi warga Palestina. Banyak dari mereka telah kehilangan tempat bernaung dan tinggal di tenda-tenda darurat usai pengeboman keji penjajah Zionis.
Di satu sisi, hujan membawa berkah lantaran tak adanya air bersih akibat blokade total penjajah “Israel” terhadap daerah tersebut.
Di sisi lain dimulainya musim hujan dan kemungkinan banjir meningkatkan kekhawatiran bahwa sistem pembuangan air di daerah padat penduduk itu akan kewalahan dan menimbulkan penyebaran penyakit.
Di tempat penampungan PBB di Khan Yunis, Gaza selatan, hujan membawa kekhawatiran bagi para pengungsi yang terbangun dan mendapati pakaian yang mereka jemur pada malam hari telah basah kuyup.
“Kami sebelumnya berada di rumah yang terbuat dari beton dan sekarang kami berada di tenda,” kata Fayeza Srour, yang mengungsi ke wilayah selatan setelah Israel mulai mengebom Jalur Gaza pada tanggal 7 Oktober lalu, lansir Reuters.
“Terpal nilon, tenda dan kayu tidak akan tahan terhadap banjir… Orang-orang tidur di lantai, apa yang akan mereka lakukan? Ke mana mereka akan pergi?” lanjutnya.
Musim dingin di Gaza bisa sangat basah dan dingin, dan daerah itu terkadang dilanda banjir.cSeorang pengungsi Gaza lainnya, Karim Mreish, mengatakan bahwa orang-orang di tempat penampungan berdoa agar hujan berhenti.
“Anak-anak itu, para wanita itu, para orang tua itu berdoa kepada Tuhan agar hujan tidak turun,” katanya. “Jika hujan turun, maka akan sangat sulit dan kata-kata tidak akan mampu menggambarkan penderitaan kami.”
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan pekan lalu bahwa Gaza menghadapi risiko penyebaran penyakit meningkat karena pengeboman udara penjajah “Israel” telah merusak sistem kesehatan, membatasi akses ke air bersih dan menyebabkan orang-orang berjubel di tempat penampungan.
Organisasi tersebut menyuarakan keprihatinannya mengenai kemungkinan hujan yang menyebabkan banjir dan membanjiri fasilitas pembuangan limbah yang sudah sangat sedikit dan rusak.
“Kami sudah mengalami wabah penyakit diare,” ujar juru bicara WHO Margaret Harris di Jenewa.
Ia mengatakan bahwa terdapat lebih dari 30.000 kasus diare dalam periode yang biasanya WHO perkirakan hanya 2.000 kasus.
“Kami memiliki begitu banyak kerusakan infrastruktur. Kami kekurangan air bersih. Kami memiliki orang-orang yang sangat, sangat berdesak-desakan. Ini adalah alasan lain mengapa kami memohon agar gencatan senjata dilakukan sekarang,” katanya.
Ahmed Bayram, juru bicara Dewan Pengungsi Norwegia, mengatakan bahwa dimulainya musim hujan dapat menjadi “pekan tersulit di Gaza sejak eskalasi [militer] dimulai.”
“Hujan lebat akan berarti menghambat penyelamatan (korban terjebak di reruntuhan),” katanya. “Ini akan mempersulit upaya penyelamatan orang-orang yang terjebak di bawah reruntuhan, atau menguburkan korban tewas, semua ini di tengah-tengah bombardir tanpa henti dan kelangkaan bahan bakar,” katanya. (sumber: Hidayatullah)