Ada sebuah fenomena menarik yang penulis lihat selama menimba ilmu di negeri Kinanah, Mesir. Anak-anak di negeri ini yang telah berusia 7 sampai 10 tahun rata-rata sudah hafal Al-Quran 30 Juz.
Sangat berbeda dengan kebanyakan masyarakat kita, yang terkadang sudah berumur, tapi belum juga bisa membaca Al-Quran dengan baik. Mungkin karena orang Mesir adalah orang Arab, sehingga cepat dan kuat hafalannya. Apalagi bahasa sehari-hari mereka adalah bahasa Arab yang merupakan bahasa Al-Quran.
Namun walapun demikian, kita sepertinya perlu mengetahui metode penduduk Mesir dalam mendidik anaknya untuk menghafal Al-Quran. Dengan begitu kita bisa mengambil pelajaran dari mereka. Bukan hanya bagaimana proses dalam menghafal Al-Quran, tetapi juga kita akan melihat sisi kehidupan mereka yang unik dan berbeda dengan kebiasaan kita di Indonesia. Pastinya kita berupaya mencontoh sisi yang positif, sebab kalau mencari kekurangan, seluruh bangsa di dunia ini tentu juga memiliki kekurangan.
Berikut penulis jabarkan hal-hal positif apa saja yang perlu kita contoh dari penduduk di negeri para nabi ini.
a. Dididik secara dewasa.
Orang tua di Mesir umumnya berbicara dengan anak-anak mereka tidak dengan bermanja-manja. Artinya mereka berbicara kepada anak kecil layaknya berbicara dengan orang dewasa.
Kalau salah, ditegur dengan cara dewasa. Setelah penulis amati, metode seperti ini ternyata menjadikan anak mereka tampil berani dan tidak minder. Oleh karena itu tidak heran jika anak-anak Mesir begitu melihat orang asing di negerinya, mereka tak sungkan-sungkan untuk mendekat tanpa rasa minder, bahkan mereka suka mengajak ngobrol.
Pemandangan seperti ini yang jarang penulis temukan ketika di tanah air. Anak kecil di daerah tempat tinggal penulis misalnya, seringnya mereka merasa minder dan takut bila melihat ada orang asing dari negara lain ke datang kampungnya. Walaupun di satu sisi, metode seperti ini juga ada dampak negatifnya.
Diantaranya anak-anak Mesir dengan keberaniannya menjadi sedikit nakal. Namun kenakalan mereka, menurut hemat penulis masih dalam batas kewajaran. Selama yang dilakukannya adalah hal-hal yang boleh, walaupun terkesan kurang sopan—terutama bila dilihat dari sisi pandang warga Indonesia yang kaya dengan tata kramanya—mereka akan dibiarkan saja oleh orang tuanya.
Tetapi kalau sudah melewati batas, dalam artian nakalnya si anak sampai berbuah kesalahan atau melakukan dosa, maka akan keluar semua sikap tegasnya sang orang tua. Kadang gak tanggung-tanggung, mereka memukul anak kecil seperti memukul orang dewasa, sampai-sampai kita tidak tega melihatnya. Dan semakin si anak bertambah nangisnya, pukulan yang didapat juga semakin keras. Sehingga si anak tidak berani berlama-lama menangis, dahsyatkan!
b. Dididik terbuka
Meskipun dididik dengan tegas, para orang tua di Mesir juga sangat terbuka dengan anak-anaknya. Mereka berinteraksi dengan anak layaknya berinteraksi dengan sahabat. Mereka ngobrol bareng, saling bertukar pikiran dan saling bertanya. Bahkan ada sebagian keluarga yang sengaja setiap dua minggu atau sebulan sekali mereka berlibur ke tempat wisata. Di sanalah mereka saling curhat. Mengajak anaknya bermusyawarah, meminta pendapatnya dan seterusnya. Meminta apa yang perlu dijadikan masukan untuk orang tuanya, dan apa yang perlu orang tua kritik demi kebaikan si anak.
Namun pembicaraan mereka tentunya sebatas pembahsan ringan yang sudah dimengerti oleh putra-putrinya. Dalam hal ini orang tua memberikan pelajaran hidup, memberikan jawaban mengapa mereka menyuruh, melarang atau terkadang memukul sang anak. Itulah yang mungkin menjadikan mereka sangat akrab dengan ibu bapaknya.
c. Memberikan waktu khusus untuk bercengkrama dan bermain dengan anak-anaknya.
Walaupun mereka dididik dewasa, mereka tetaplah seorang anak. Mereka butuh waktu untuk bermain dan bersenang-senang, butuh waktu untuk mendengar cerita kepahlawanan dari orang tuanya, butuh perhatian khusus dari orang tua. Hal seperti ini juga menjadikan anak-anak itu sangat dekat dengan orang tua mereka. Walaupun orang tua kadang kasar, tapi anak-anak kecil itu sangat mencintai orang tuanya.
Dari sini penulis melihat ada satu hal yang unik. Kalau anak-anak di Mesir diperingati cukup keras oleh orang tuanya, mereka menangis sambil berusaha memeluk kaki ibu atau ayahnya, meminta agar dikasihani dan jangan dipukul. Berbeda mungkin dengan anak-anak di Indonesia yang kalau diperingati agak keras oleh kedua orang tuanya, mereka justru semakin menjauh, bahkan kalau sudah nekat, bisa-bisa malah kabur dari rumah. Hebatkan!!??
Nah, setelah marah sang orang tua mereda, sang Ayah atau Ibu pun langsung mendatangi si anak dan memeluknya dengan erat, kemudian menasehatinya agar jangan mengulangi kesalahannya, memberitahukan alasan-alasan mengapa kesalahan itu tidak boleh dilakukan. Anak kemudian mengerti dan memeluk orang tuanya serta melupakan apa yang telah terjadi. Mereka mengerti bahwa pukulan itu bukan karena benci tetapi karena kasih sayang dan cinta orang tua kepada dirinya.
Sikap seperti inilah yang penulis amati membentuk pribadi mereka menjadi tak suka mendendam. Hal yang sangat dikagumi dari orang Mesir adalah ketika mereka tidak bisa menyimpan rasa dendam. Artinya, kalau ada yang dirasa tak cocok, ia sampaikan di saat itu juga, kalau ia marah, maka ketika itu juga kemarahannya akan diluapkan sejadi-jadinya. Biasanya mereka lampiaskan dengan teriakan yang keras, sehingga mengundang perhatian orang sekelililngnya, tapi jarang sekali mereka sampai adu pukul, paling hanya saling dorong dan berteriak keras.
Setelah dilerai oleh orang sekelilingnya dan disuruh bershalawat, mereka akan berhenti berteriak. Dan keesokan harinya ketika mereka kembali bertemu, mereka seakan sudah lupa dengan pertengkaran yang terjadi sehari sebelumnya. Mungkin kalau di kita, dendam terkadang bisa berlanjut sampai tujuh turunan. Lalu, bagaimana kira-kira cara mereka mendidik keluarganya dalam berinteraksi dengan al Quran? Bersambung… (sn/lhm)