Sejumlah wartawan di Kirkuk mengeluhkan tindakan pasukan AS dan aparat keamanan di Irak yang menghambat tugas mereka saat meliput situasi keamanan yang makin memburuk di kota itu.
Sejak bulan Juni, sedikitnya ada enam insiden penyerangan terhadap wartawan yang sedang melakukan tugas jurnalistiknya di berbagai tempat di Irak. Para wartawan Irak itu mengatakan, tentara AS atau pasukan Irak kerap memukul mereka, merusak peralatan liputan dan menuding mereka sebagai ‘teroris.’
Pejabat senior militer AS dan Irak mengakui adanya serangan itu dan menyatakan bahwa sejumlah kasus tersebut sedang dalam penyelidikan.
Menurut Saman Fakhri, repoter dari stasiun televisi Al-Alam, Iran, penyerangan itu dilakukan untuk menghentikan para jurnalis melakukan tugas jurnalistiknya di Kirkuk.
"Keadaannya makin memburuk. Aparat keamanan mengarahkan energi mereka yang berlebih dan kemarahan mereka pada pers. Kami diserang dari berbagai sisi; oleh polisi Irak, militer Irak, Pasukan Darurat, pasukan koalisi dan partai-partai politik menyerang kami secara fisik maupun verbal," papar Fakhri.
Untuk itu, Fakhri bersama sekitar 50 wartawan lainnya yang bertugas di kota itu, membuat petisi yang diserahkan ke otoritas berwenang agar segera mengakhiri pelecehan pada para wartawan.
"Kami meminta aparat keamanan membiarkan kami melakukan tugas kami dan jangan sampai terulang lagi tindak kekerasan, tugas pers harus dihormati. Kebebasan pers sangat penting bagi Irak," ujar Fakhri.
"Kami menginginkan komitmen dari pejabat pemerintah dan pasukan keamanan untuk mematuhi hukum negeri ini dan setiap pelaku kekerasan harus bertanggung jawab," sambungnya.
Anti Demokrasi
Joel Campagna, juru bicara Commitee to Protect Journalist (CPJ) yang berbasis di New York mengatakan, aparat pasukan AS dan Irak sudah melakukan tindakan yang anti demokrasi dengan menghalang-halangi tugas wartawan.
"Kami sudah menerima beberapa keluhan dari sejumlah wartawan Irak yang mengeluhkan adanya pelecehan, ancaman, intimidasi, perusakan alat liputan oleh pasukan AS dan Irak," kata Campagna.
Menurutnya, tindakan semacam itu merusak komitmen pejabat AS dan Irak dalam mendukung kebebasan pers dan menunjukkan perilaku yang sama dengan rejim otokrasi di Irak, dan tidak merefleksikan aspirasi demokrasi.
Menurut data CPJ, 74 reporter dan 27 pekerja media, tewas sejak invasi AS ke Irak tahun 2003. Irak menjadi tempat yang paling berbahaya bagi para pekerja media. Campagna mengatakan, kebanyakan yang tewas adalah wartawan lokal Irak dan mayoritas terbunuh oleh kelompok pejuang di Irak.
"Tapi pasukan AS dan Irak menjadi sumber bahaya yang lain di Irak. Pasukan AS menjadi penyebab kedua banyaknya wartawan yang tewas di Irak," ujar Campagna.
Tahun 2005, otoritas militer AS menangkap tujuh wartawan dengan tuduhan terlibat terorisme. Setelah hampir 100 hari dipenjara, ketujuh wartawan itu dibebaskan karena tuduhan itu tidak terbukti. (ln/aljz)