Warisan Imam Nawawi untuk Umat Islam

Ia juga sangat sopan terhadap ulama. Ketika ia menyebut nama orang saleh, ia menyebutnya dengan rasa hormat yang tinggi. Begitu juga dalam tugasnya sebagai penganjur kebenaran dan keadilan. Ia tidak peduli dengan cercaan orang walau maut menjadi taruhannya. ”Dalam amar ma’ruf nahy munkar, Nawawi tidak ada duanya,” kata Ad-Dzahabi, sejarawan andal.

Ketegasan Imam Nawawi ditunjukkannya ketika Raja Az-Zhahir Bibris al-Bindiqdary (w. 678 H), raja Dinasti Ayyubiyah, berencana memerangi pasukan Tartar yang berada di Syam (Sutiah). Raja meminta seluruh ulama untuk menandatangani fatwa yang membolehkan mengambil harta benda rakyat untuk biaya perang. Nawawi menolaknya.

Alasannya, Raja Zhahir telah banyak menggunakan uang negara untuk kepentingan raja pribadi. Di antaranya, untuk kebutuhan selirnya yang ratusan orang dan pembuatan tali pelana kuda untuk 1000 budaknya. Menurut Nawawi, andai uang itu dipergunakan untuk kebutuhan perang jauh lebih baik dibandingkan mengambil harta benda rakyat.

Nawawi wafat pada malam Rabu, 24 Rajab 676 H/22 Desember 1277 M, di Nawa. Sejarah hidupnya direkam oleh al-Sakhawi, Suhaimi, dan al-Suyuthi dalam karya-karya. Hingga akhir hayatnya, Nawawi tidak meninggalkan ahli waris karena ia tidak sempat menikah.

Namun, ia mewariskan sejumlah karya bagi umat Islam. Di antaranya, Syarh Muslim (kitab yang mensyarahi Shahih Muslim), Raudhah at-Thalibin (kitab standar dalam Mazhab Syafi’i), dan Al-Minhaj (kitab fikih yang menjadi kajian ulama dan pelajar). Kemudian, Riyadh al-Shalihin min Kalam Sayyid al-Mursalin, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, al-Adzkar, At-Tibyan, Adab al-Mugti wa al-Mustafti, Manaqib al-Syafi’i, Arbain an-Nawawiyah, dan lainnya. (rol)