Warga Muslim Uighur, China di AS melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor kedutaan besar China di Washington DC. Aksi unjuk rasa itu dilakukan sebagai bentuk protes atas peristiwa pembantaian yang terjadi sepuluh tahun lalu.
Para pengunjuk rasa mengibarkan bendera Uighur dan meneriakkan slogan-slogan berisi seruan agar China bertanggungjawab atas banyaknya korban tewas dalam peristiwa yang terjadi pada 5 Februari 1997, yang mirip dengan peristiwa pembantaian di Lapangan Tiananmen tahun 1989.
Menurut organisasi pemantau hak asasi manusia, Amnesty International, ratusan bahkan mungkin ribuan orang tewas dan terluka saat polisi membubarkan aksi massa di kota Gulja, wilayah Xinjiang, China tahun 1997.
Dalam aksi protes di depan kantor kedubes China di Washington DC, Senin (5/2), salah seorang pemipin warga Uighur di pengasingan, Rebiya Kadeer menyatakan, sampai sekarang pemerintah China masih menindas warga Uighur. Dan pemerintah China tidak pernah mengambil langkah tertentu untuk menjelaskan peristiwa di Gulja-kota yang sekarang dikenal dengan nama Yining-di mana sekitar delapan ribu orang "hilang tanpa jejak."
"Sepuluh tahun telah berlalu, tapi otoritas pemerintahan China masih belum bertanggungjawab atas hilangnya nyawa orang-orang tak berdosa dan mereka yang hilang setelah peristiwa pembantaian di Gulja, " ujar Kadeer.
Kadeer, dulunya adalah seorang pengusaha perempuan yang sukses di Xinjiang. Ia dipenjara pemerintah China dengan tuduhan membocorkan rahasia negara. Dia dibebaskan dan diasingkan ke AS pada tahun 2005, setelah menjalani hukuman lima tahun penjara dari delapan tahun vonis yang dijatuhkan padanya.
Kadeer menuding pemerintah China telah melakukan "pemusnahan budaya" terhadap warga Uighur, karena berambisi untuk menguasai kekayaan sumber energi dan mineral yang banyak terkandung di bagian barat Xinjiang.
Direktur Advokasi wilayah Asia Pasifik Amnesty International, T. Kumar mengungkapkan, banyak warga Uighur yang ditangkap setelah peristiwa di Gulja, mengalami penyiksaan fisik oleh aparat keamanan China.
"Tak satupun orang yang bertanggungjawab atas pembantaian itu dan kami menyerukan dunia internasional untuk mendorong dilakukannya penyelidikan atas kasus ini dan tindakan-tindakan penyelewengan lainnya yang dialami warga Uighur, " jelas Kumar seperti dikutip AFP.
Xinjiang pernah menikmati kemerdekaannya pada era 1940-an sebagai Republik Turkistan Timur, sebelum menjadi bagian dari wilayah Republik Rakyat China. Sejak itu, tepatnya sejak tahun 1990-an, sering terjadi serangan-serangan berskala kecil. China menuding serangan itu dilakukan oleh kelompok separatis Uighur dan dipicu oleh kelompok Islam radikal yang memiliki hubungan dengan al-Qaidah.
Tuduhan itu dibantah oleh para aktivis Uighur. Rebiya Kadeer mengatakan, serangan-serangan itu dilakukan oleh sekelompok kecil masyarakat, sedangkan mayoritas warga Uighur hanya menginginkan haknya, untuk bisa menjalankan ibadah sesuai agama yang mereka anut dan dibebaskan dari pajak-pajak.
Para aktivis Uighur mengatakan, China memanfaatkan serangan-serangan tersebut untuk menunjukkan dukungannya pada AS dalam kampanye perang melawan terorisme dan menjadi pembenaran bagi China untuk menindas budaya Uighur, khususnya yang berakar pada Islam. (ln/aljz)