Larangan menggunakan pengeras suara saat mengumandangkan adzan, yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Mauritius memicu protes keras bukan hanya dari kalangan Muslim tapi juga warga non Muslim di negara yang terletak di selatan benua Afrika itu.
Akhir Maret kemarin, Mahkamah Agung Mauritius memerintahkan otoritas kota Quatre-Bornes-sebuah kota yang terletak sekitar 20 km dari ibukota Port-Louis-agar melarang Masjid Hidayat Al-Islam menggunakan pengeras suara saat mengumandangkan adzan. Mahkamah Agung mengeluarkan perintah itu, setelah salah seorang warga mengajukan gugatan hukum karena merasa terganggu dengan suara Muazin saat waktu sholat tiba.
Warga Muslim dan non Muslim menyatakan sikap bersama, menolak keputusan pengadilan yang dinilai akan membahayakan kehidupan harmonis antar warga masyarakat Mauritius.
Fuad Uteene, kepala Dewan Umat Islam Mauritius menyatakan, warga Muslim tidak pernah protes terhadap kegiatan penganut agama lain.
"Warga Muslim tidak pernah protes terhadap pembangunan tempat ibadah agama lain. Mereka juga tidak pernah meminta warga keturunan China tidak menyalakan petasan saat merayakan hari besarnya, atau melarang gereja-gereja membunyikan lonceng gereja. Mengapa sekarang mereka melarang kami tidak menyuarakan adzan dengan menggunakan pengeras suara, " ujar Uteene heran.
Keputusan Mahkamah Agung didasarkan pada undang-undang yang sudah berlaku sejak puluhan tahun lalu, yang melarang penggunaan pengeras suara, amplifier dan klakson kendaraan sehingga menimbulkan suara bising. Mereka yang melanggar aturan ini, dikenakan denda 500 rupee.
Tapi, pada prakteknya di lapangan, aturan itu tidak pernah ditegakkan secara tegas. Aparat berwenang misalnya, tidak pernah mengenakan sangsi pada warga keturunan China yang menyalakan petasan saat memperingati hari besar keagamaannya.
"Sangat mengejutkan, mendengar bahwa ada orang yang alergi mendengar panggilan untuk sholat, " kata Nissar Ramtoola, seorang imam masjid di Port-Louis. Ia menilai, tidak pantas menyebut adzan sebagai suara yang membisingkan.
Pernyataan Ramtoola dibenarkan kepala kuil Hindu di Goodlands, Sheela Mohunparsad. Ia mengatakan, para penganut agama Hindu menjalankan ibadah dengan suasana tenang. Tapi mereka tidak pernah menganggap suara adzan menimbulkan kebisingan.
"Justru, adzan membantu kami agar bisa bangun lebih pagi, bukan hanya untuk pergi kerja tapi juga ketika kami berpuasa, " tukasnya.
Politisi dan pengacara Muslim, Shakeel Muhammad mengingatkan bahwa masalah ini bisa merusak kehidupan beragama yang damai di Mauritius. Keputusan Mahkamah Agung, menurutnya, bisa menimbulkan efek domino ke tempat ibadah lainnya seperti gereja dan kuil Hindu, yang terkadang juga menggunakan pengeras suara saat menjalankan ritual agamanya.
Walikota Port-Louis, Lord Reza Issack juga tidak setuju dengan keputusan Mahkamah Agung. Ia berinisiatif untuk mendorong dilakukannya amandemen atas keputusan itu.
Sementara itu, ratusan warga Muslim Mauritius melakukan aksi unjuk rasa, menuntut agar aparat berwenang mencabut larangan tersebut. Aktivis Muslim Areff Bahemia mengingatkan akan adanya aksi massa yang makin luas, jika keputusan itu tidak segera dicabut.
Menurut data CIA’s World Fact, mayoritas penduduk Mauritius atau sekitar 48 persen menganut agama Hindu, 23, 3 persen menganut Kristen Katolik dan 16, 6 persen menganut agama Islam. (ln/iol)