Thariq Al-Hasyemi, wakil Presiden Irak, mengklaim bahwa mayoritas korban tindak kekerasan yang kini melanda Irak selama kurang lebih satu tahun terakhir, adalah kaum Sunni.
Ia mengatakan, “Mereka menjadi korban pembersihan etnik, oleh milisi bersenjata yang berupaya mengusir mereka dari ibukota Baghdad.”
Dalam pernyataanya pada Reuters (12/1), Hasyemi yang juga wakil kalangan Sunni menjawab pertanyaan tentang angka kematian yang menurutnya sudah mencapai 23 ribu orang dari pihak sipil dan polisi, dalam serangkaian aksi serangan serta kekerasan sepanjang tahun 2006. Tapi Hasyemi mengaku tak bisa memastikan kebenaran angka tersebut. Ia hanya mengaku terkejut dan mengatakan bahwa “mayoritas korbannya adalah kaum Sunni.”
Menurut Hasyemi yang kehilangan tiga orang saudara kandungnya akibat kekerasan di Irak, memang ada aksi pembersihan etnik secara intensif dan berkelanjutan terhadap kaum Muslim Sunni di Baghdad. Aksi itu tambahnya, bermula sejak tanggal 22 Februari tahun 2006. Sebelumnya, masjid yang sangat disakralkan kaum Syiah meledak pada bulan yang sama dan peristiwa itu yang diduga memicu kekerasan antar etnik Muslim Sunni dan Syiah.
Serangan-serangan antar etnik tersebut, kata Hasyemi, menggunakan sejumlah bom mortir hingga bisa menewaskan ratusan orang setiap pekannya di Baghdad. Akibat pertikaian itu, kini ada ratusan ribu orang Syiah dan Sunni yang menjadi pengungsi akibat teror dan serangan yang terjadi antara kedua belah pihak.
Menurut Menteri Kesehatan Irak di Baghdad, sejak awal tahun 2006 sampai awal Juni 2006, telah ditemukan 6.000 mayat manusia yang diyakini mayoritasnya berasal dari kalangan Sunni. Mengenai jumlah pengungsi, disebutkan oleh Menteri urusan Pengungsian Irak, saat ini sudah lebih dari 160 ribu orang dari 26 ribu keluarga Irak Sunni dan Syiah mengungsi dan meninggalkan harta benda mereka di Baghdad.
Wakil Presiden Irak Thariq Hasyemi juga menyebutkan bahwa masalah kacaunya keamanan di Irak juga terkait dengan bercokolnya milisi bersenjata Al-Mahdi pimpinan Muqtada Shadr yang pro Syiah. “Mereka terlibat juga dalam pemerintahan dan parlemen Irak, serta di Dewan keamanan nasional, ” kata Hasyemi. (na-str/iol)