Sebagai staff ahli di kemiliteran AS, Victor Agosto tidak pernah diterjunkan ke medan tempur meski ia bertugas di Irak, karena ia bekerja di bidang teknologi informasi. Tugasnya sehari-hari menjadi agar jaringan komputer militer AS berfungsi dengan baik.
Tapi penugasan di Irak, membuka mata Agosto bahwa perang dan penjajahan AS adalah tindakan yang salah dan untuk itu ia menolak ditugaskan ke medan perang AS manapun, termasuk ke Afghanistan.
"Ini masalah kehidupan macam apa yang ingin saya jalani. Saya tidak punya pengalaman traumatis, tidak pernah mengokang senjata, karena saya bekerja di bidang informasi teknologi.
Tapi, dari apa yang saya baca dan dan saya saksikan, saya sadar apa yang sedang terjadi di Irak. Saya mulai merasa bersalah, dan saya menentang perang di Irak," papar Agosto pada Inter Press Service.
"Saya tahu, pekerjaan saya selama bertugas di Irak, telah memberikan kontribusi pada kematian dan penderitaan umat manusia. Sulit menyebutkan berapa besar pengaruhnya, tapi saya tahu, saya juga ikut memberikan kontribusi itu. Saya tidak mau ikut serta dalam penjajahan ini, setelah saya tahu bahwa itu semua salah," tukas Agosto yang bertugas di basis militer AS di utara Irak.
Bulan Agustus nanti, kontrak kerja Agosto dengan militer AS akan berakhir setelah masa kerjanya selama tiga tahun sembilan bulan. Tapi militer AS memiliki program yang disebut "stop-loss". Program ini memungkinkan militer AS memperpanjang masa tugas tentaranya di luar masa kontrak atau masa tugasnya dan sejak serangan 11 September 2001, sedikitnya 140.000 pasukan AS terkena program "stop-loss". Karena Agosto memiliki catatan prestasi kerja yang sempurna, militer AS memasukkan Agosto ke dalam program "stop-loss".
Agosto sudah mendapatkan salinan berkas Counseling Form dari militer AS tertanggal 1 Mei yang isinya tertulis,"Anda akan ditugaskan untuk mendukung OEF (Operation Enduring Freedom) pada atau sekitar (XXXX) dengan ESB ke-57. Ini adalah perintah langsung dari komandan perusahaan Anda, CPT Michael J. Predeson." Dalam surat tersebut juga dicantumkan pernyataan, tindakan apa saja yang akan diambil pihak militer untuk mendisiplinkan Agosto jika menolak perintah tersebut.
Agosto memposting salinan surat tersebut dalam halaman facebooknya dan menulis apapun perintahnya ia menolak ditugaskan ke Afghanistan. "Penjajahan adalah tindakan yang tidak bermoral dan tidak adil. Penjajahan tidak membuat rakyat Amerika lebih aman, tapi justru menimbulkan dampak sebaliknya," tulis Agosto.
Dalam postingan lainnya tertanggal 18 Mei, Agosto menulis, "Saya tidak akan mematuhi perintah apapun, Saya tidak mau dianggap tidak bermoral atau melanggar hukum." Pada hari yang sama, Agosto mendapat perintah untuk melakukan pemeriksaan kesehatan untuk keperluan penugasannya ke Afghanistan. Namun Agosto menolak perintah itu meski militer AS mengancam akan menjatuhkan sanksi pada Agosto. Ia menulis,"Saya tidak akan pergi ke Afghanistan. Saya tidak akan ikut serta dalam SRP (Sealift Readiness Program)."
Dengan penolakannya itu Agosto harus siap menghadapi mahkamah militer dan kemungkinan hukuman penjara. Pada IPS, Agosto menyatakan siap menerima konsekuensinya. "Saya sepenuhnya siap menerima konsekuensinya. Saya menyimpulkan bahwa para politisi dan pejabat negara tidak ingin menghentikan perang, baik di Irak maupun di Afghanistan. Mereka tidak responsif pada rakyat, mereka hanya mementingkan kepentingan korporat Amerika," tukas Agosto.
Ia menambahkan, satu-satunya cara agar para politisi dan pejabat itu merespon kepentingan rakyat adalah, para tentara seharusnya menolak ditugaskan ke medan perang. "Saya berharap bisa menjadi contoh bagi tentara-tentara lainnya," tandas Agosto.
Kasus-kasus seperti Agosto sebenarnya bukan kasus yang istimewa di kalangan dinas kemiliteran AS. Kelompok yang menamakan diri mereka Courage to Resist yang berbasis di Oakland, California secara aktif memberikan pendampingan bagi para tentara yang menolak ditugaskan ke Irak atau Afghanistan.
Szyper-Seibert, salah satu manager dan konsultan di Courage to Resist menyatakan, saat ini organisasinya sedang melakukan pendampingan terhadap 50 orang lebih tentara yang menolak ditugaskan ke medan perang. Para tentara itu tersebar di berbagai negara antara lain di Jerman dan beberapa diantaranya di Kanada.
Salah seorang staff ahli militer AS yang bernama André Shepherd mencari suaka ke Jerman karena tidak mau ditugaskan kembali ke Irak. Sama seperti Agosto, Shepherd menilai perang AS di Irak tidak bermoral.
Sersan Travis Bishop yang pernah bertugas di Baghdad selama 14 bulan, juga menolak ikut ke medan perang setelah unitnya ditugaskan ke Afghanistan. Bishop mengatakan, dia merasa tidak bermoral jika mendukung penjajahan AS di negara lain.
"Saya mencintai negara saya, tapi saya yakin khusus perang ini adalah perang yang tidak fair, tidak konstitusional dan merupakan tindakan sewenang-wenang dari negara saya," tulis Bishop dalam blognya. (ln/isc/cd.org)