UNHCR Akan Selidiki Pembantaian Muslim Rohingya

UNHCR Akan Selidiki Pembantaian Muslim Rohingya

Kepala badan HAM PBB, UNHCR, Navi Pillay meminta adanya penyelidikan atas konflik agama di provinsi Rakhine, Burma.

Pillay mengatakan aparat keamanan yang dikirim untuk menghentikan kekerasan di provinsi bagian utara Burma tersebut justru dilaporkan melakukan penyerangan dengan target Muslim Rohingya.

UNHCR mengatakan sekitar 80.000 orang kini mengungsi akibat kekerasan antar komunal di Rakhine.

Kebanyakan pengungsi tinggal di tenda penampungan dan lebih banyak tenda kini dikirim melalui udara untuk membantu mereka.

Kekerasan di Rakhine dimulai Mei silam ketika seorang perempuan etnis Rakhine Budha diperkosa dan dibunuh oleh tiga orang Muslim.

Pada tanggal 3 Juni, sebuah serangan massa tak dikenal menewaskan 10 Muslim.

Sejak saat itu setidaknya 78 orang tewas dalam kekerasan, tetapi jumlah korban diperkirakan lebih tinggi.

“Kami menerima banyak laporan dari sumber independen terkait dugaan tindakan diskriminatif dan sewenang-wenang yang dilakukan pasukan keamanan, dan bahkan hasutan yang mereka sampaikan dalam keterlibatan di kerusuhan,” kata Pillay.

“Laporan mengindikasikan bahwa respon dari otoritas untuk mengatasi kekerasan komunal mungkin telah berubah dengan target tindakan keras terhadap Muslim, terutama anggota komunitas Rohingya,” ujarnya.

Dia juga menyambut keputusan pemerintah Burma yang mengijinkan utusan PBB untuk masuk ke Rakhine pekan depan, tetapi mengatakan ”tidak ada pengganti untuk penyelidikan indpenden yang lengkap”

Aparat keamanan Burma diduga menargetkan Muslim Rohingya sebagai sasaran serangan.

UNHCR menyatakan sekitar 80.000 pengungsi ditempatkan di sekitar kota Sittwe dan Maungdaw.

Juru bicara UNHCR Andrej Mahecic mengatakan banyak orang yang takut untuk kembali ke rumah mereka.

“Sejumlah pengungsi mengatakan kepada UNHCR bahwa mereka ingin pulang untuk kembali bekerja, tetapi mereka takut atas keselamatan diri mereka,” katanya.

Pemimpin oposisi Burma Aung San Suu Kyi baru-baru ini meminta dibuat Undang-Undang untuk melindungi hak kelompok etnis minoritas.

Dalam pernyataan pertamanya di parlemen dia mengatakan, UU tersebut penting bagi Burma untuk menjadi negara demokratis sesungguhnya dengan saling menghormati.

Burma telah menjalani serangkaian reformasi politik yang diinisiasi oleh pemerintah yang didukung oleh militer.

Tetapi sejumlah kawasan di negara itu masih terlibat konflik dan kekerasan, termasuk di provinsi Rakhine.(fq/bbc)