Eramuslim.com – PBB melalui Unesco tahun ini memilih Al-Ahsa di timur Arab Saudi sebagai kota paling kreatif di dunia untuk kategori kerajinan dan kesenian rakyat.
Pemilihan itu bertepatan pada Hari Kota Dunia yang dirayakan setiap 31 Oktober yang mulai dicanangkan sejak 2014 untuk mempromosikan kesadaran tentang urbanisasi global dan menekankan pentingnya kerjasama demi meraih tujuan pembangunan.
Dunia saat ini mengalami gelombang urbanisasi terbesar dalam sejarah, dengan jutaan orang hijrah ke kota, terutama di negara berkembang.
Sekitar 54 persen populasi dunia tinggal di daerah urban yang diramal akan naik hingga 66% pada 2050. Data PBB menunjukkan populasi kota-kota di dunia pada 2014 mencapai 3,9 miliar, dari 746 juta pada 1950.
Al-Ahsa adalah oasis atau daerah subur di tengah padang pasir dengan sumber air yang cukup, yang sejak dulu terkenal sebagai penghasil produk pertanian. Kota ini adalah daerah yang didiami masyarakat yang ramah dan sejahtera.
Al-Ahsa oleh penduduk lokal kadang disebut El Hasa atau Hadjar, terletak di sekitar 60 km dari pantai Teluk Persia. Kota ini sudah didiami manusia sejak zaman prasejarah karena ketersediaan air yang melimpah jika dibandingkan dengan daerah lain di sekitarnya.
Oasis Al-Ahsa sempat dinominasikan sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Di kota ini terdapat banyak jejak-jekak peradaban dan situs arkeologis. Di sini, turis bisa menikmati warisan budaya yang unik, yakni wisata dongeng.
Kota Al-Ahsa penuh dengan ladang kurma, yang berjumlah lebih dari satu setengah juta, terbesar di dunia. Sejumlah mata air terkenal di Al-Hassa antara lain seperti Al-Jawhariah, Umm Sab’ah, Al-Khodoud. Ada juga sumber mata air panas Al-Harah.
Selain situs-situs purbakala, di Al-Hasa juga terdapat banyak bangunan peninggalan era Utsmaniyah, yang menguasai tanah ajaib ini sejak 1550 di masa sultan Sulaiman. Al-Hasa sempat menjadi rebutan antara Kuwait dan Arab Saudi menyusul menurunnya kekuatan Turki Utsmani pada awal abad ke-20. Pada 1922, melalui Protokol Uqair, Inggris mengakui kedaulatan Arab Saudi atas wilayah tersebut. Sejak saat itu, Al-Hasa menjadi milik kerajaan Ibnu Saud.
Al-Ahsa juga memiliki museum yang menyajikan barang antik dan warisan sejarah. Pengunjung dapat mengetahui bukti-bukti pergeseran benua, periode geologis dan umur bumi. Selain itu, pengunjung juga dapat melihat berbagai kerajinan yang menjadi ikon Kerajaan secara umum.
Museum Al-Hasa sangat menonjolkan budaya pertanian dan perdagangan di kota ini sejak zaman lampau hingga modern. Museum juga menggelar secara reguler pertunjukan dongeng yang menjadi budaya turun-temurun masyarakat Al-Hasa.
Unesco memilih kota berpenduduk 1,3 juta jiwa itu karena beberapa pertimbangan:
-Mengembangkan budaya kerja untuk para pengrajin (pria dan wanita) melalui pelatihan yang sistematis sekaligus menyediakan kesempatan untuk menjual produk mereka dengan menyediakan pasar yang didedikasikan khusus untuk mereka.
-Memperkuat peran para pengrajin dan seni rakyat serta dampaknya bagi pembangunan berkelanjutan, yakni mengurangi pengangguran dengan dukungan penuh terhadap seniman muda, dengan tetap menjaga kesetaraan jender.
-Meningkatkan kerjasama dan pertukaran keahlian dengan Kota Kreatif lainnya.
Selain itu, Al-Hasa mencatat sejumlah prestasi lain, seperti membuka pasar seni mingguan, termasuk Festival Nasional Pusaka dan Budaya Janadriya yang menarik 68 ribu pengunjung setiap tahunnya, Pasar Seni Okaz, dan Pasar seni Harjer. (ki/tribun)