Umat Kristen: Bukan Hamas, Tapi Israel yang Merusak Semangat Natal di Ghaza

Umat Kristen di Jalur Ghaza mengungkapkan kebahagiannya, meski Jalur Ghaza kini dikuasai penuh oleh Hamas, mereka bisa merayakan natal dengan damai, tanpa adanya tekanan maupun tindakan diskriminatif dari kelompok Hamas.

Warga Kristen di Ghaza, bahkan menyatakan tidak menggelar perayaan natal yang berlebihan sebagai bentuk solidaritas mereka terhadap warga Muslim di Ghaza yang sedang mengalami penindasan baik dari dunia internasional maupun dari pemerintahan otoritas Palestina sendiri.

"Saya bisa saja meminta izin pada Perdana Menteri Ismail Haniyah untuk menggelar perayaan natal yang meriah dan meminta menteri dalam negeri untuk memberikan bantuan pengamanan, tapi kami memutuskan untuk tidak melakukan itu, " kata Monsignor (gelar untuk pendeta Katolik Roma-red) Manuel Mussalam, ketua komunitas Katolik Roma di Ghaza.

Mussalam justru mengungkapkan kesedihannya atas agresi yang dilakukan pasukan militer Zionis Israel ke Ghaza, yang telah mengganggu kekhidmatan perayaan natal umat Kristiani di wilayah itu.

"Setiap ada yang meninggal dunia, terluka dan menjadi tawanan Israel. Pada hari raya Idul Adha, warga Muslim banyak yang menjadi martir dan ini sangat menyedihkan, kami tidak bisa mengabaikan bagaimana sedihnya perasaan mereka, " kata Mussalam prihatin.

"Kegembiraan warga Muslim, kegembiraan kami juga. Kesedihan mereka, kesedihan kami juga. Kami mengalami krisis yang sama dan kami punya tujuan yang sama, " sambungnya.

Mussalam mengungkapkan, seorang menteri asal Hamas, Dr Basem Na’eem adalah orang pertama yang menyampaikan ucapan selamat padanya dan warga Kristen di Ghaza pada hari Natal.

"Kami betul-betul merasakan kebebasan beribadah di bawah pemerintahan Hamas. Saya tidak pernah menerima keluhan apa pun dari umat Kristiani di Ghaza, tentang pemerintahan Hamas, " tambah Monsignor Mussalam.

Pernyataan Mussalam dibenarkan oleh Attala, warga Kristen di Ghaza yang berprofesi sebagai dokter. "Kami tidak punya masalah karena Hamas. Kami merasakan persaudaraan dan toleransi antar umat beragama di sini, di Ghaza, " tukas Attala.

Warga Kristen lainnya, Simon Tarazi juga menyatakan bahwa ia tidak pernah mengalami perlakuan diskriminatif dari orang-orang Hamas. "Saya tidak pernah merasa diganggu atau dilecehkan oleh warga Muslim, " ujar Tarazi.

Sementara itu, Basem Ayyad mengaku kehidupannya lebih baik di bawah pemerintahan Hamas. Ayyad masih ingat bagaimana otoritas Hamas membantunya membayarkan uang yang ia pinjam dari seseorang.

Meski demikian, umat Kristiani merasakan natal tahun ini kurang bersemangat karena situasi ekonomi yang lesu akibat embargo ekonomi Israel dan dunia internasional terhadap wilayah Ghaza.

Ibrahim Ajab, penjual hiasan natal di Ghaza mengaku barang dagangannya tidak begitu laku pada natal tahun ini. Sedangkan Attala yang berprofesi dokter mengeluhkan ketiadaan obat-obatan untuk para pasiennya di rumah sakit.

"Bagaiamana kami bisa merayakan natal disaat kami tidak mendapatkan obat-obatan untuk para pasien, dan banyak pasien yang tidak dizinkan berobat ke luar Ghaza, " tandas Attala.

Ia melanjutkan, "Sebagai umat Kristiani, kami tidak pernah bermasalah dengan Hamas. Sumber bencana sesungguhnya di sini (Ghaza) adalah penjajahan rejim Israel. "

Data Biro Statistik Palestina menyebutkan, jumlah warga Kristen di Ghaza sekitar 3. 000 orang dari 1, 5 juta total penduduk Ghaza. (ln/iol)