National Counter Terrorism Center (NCTC) Amerika Serikat menyatakan, sepanjang tahun 2006 kemarin, sekitar 58 ribu orang tewas atau mengalami luka-luka akibat berbagai aksi-terorisme di seluruh dunia. Dari jumlah itu, NCTC mengklaim umat Islamlah yang paling banyak menjadi korban.
"Berdasarkan pada kombinasi laporan dan analisa demografi negara-negara yang mengalami serangan terorisme, lebih dari 50 persen korbannya adalah umat Islam dan kebanyakan adalah korban serangan yang terjadi di Irak, " demikian isi laporan yang bertajuk The Report on Terrorist Incident 2006.
Laporan itu menyebutkan, kurang lebih ada 14 ribu serangan teroris yang terjadi di berbagai negara sepanjang tahun 2006, yang menyebabkan 20 ribu nyawa melayang. Dari angka itu, 70 persen korban berasal dari kalangan warga sipil.
Menurut laporan yang dimuat di situs NCTC, serangan teroris yang menimbulkan korban tewas, kebanyakan terjadi di kawasan Timur Jauh dan Asia Selatan. "Sekitar 90 persen dari 300 serangan terorisme yang paling banyak menimbulkan korban, terjadi di dua kawasan ini, " tulis NCTC. Dalam setiap kasus serangan terorisme di kawasan itu, jumlah korban tewas mencapai 10 orang lebih.
Dari 14 ribu laporan serangan terorisme, menurut NCTC, 45 persen atau sekitar 6. 600 insiden terjadi di Irak dengan jumlah korban mencapai 13 ribu orang atau meliputi 65 persen dari total jumlah korban serangan terorisme di seluruh dunia. Sedangkan jumlah korban luka-luka akibat serangan teroris sepanjang tahun 2006, meningkat sebesar 54 persen.
Di Afghanistan, menurut laporan itu, aksi-aksi kekerasan meningkat 50 persen mencapai 750 kasus serangan. Di Eropa, serangan teroris meningkat sebesar 15 persen.
Di antara korban, korban anak-anak dilaporkan meningkat hingga lebih dari 80 persen di mana sekitar 1. 800 anak-anak tewas atau terluka akibat serangan teroris.
Lantas siapa yang menjadi pemicu meningkatnya serangan-serangan terorisme di seluruh dunia? Laporan NCTC menyebutkan bahwa kebijakan luar negeri AS masih menjadi motivasi utama para teroris. Salah satunya adalah invasi yang berubah menjadi pendudukan AS di Irak.
"Penjajahan di Irak digunakan oleh para teroris sebagai alasan untuk melakukan aktivitas yang ekstrim dan radikal, yang menimbulkan ketidakstabilan keamanan di negara-negara tetangganya, " tulis NCTC.
NCTC juga menyebutkan, sejak invasi AS ke Afghanistan tahun 2002, negara itu masih menghadapi ancaman dari para pejuang Taliban dan kelompok ekstrim.
"Jumlah serangan terorisme di Afghanistan meningkat 52 persen pada tahun 2006. Dan jumlah orang yang tewas, terluka atau diculik meningkat dua kali lipat, " kata NCTC.
Kesimpulan bahwa kebijakan luar negeri AS telah mendorong peningkatan jumlah serangan-serangan terorisme juga pernah diungkapkan dalam laporan Intelejen Nasional tahun 2006. Laporan itu menyebutkan bahwa perang AS di Irak memainkan peranan besar bagi peningkatan serangan terorisme dan telah menimbukan kelompok "teroris" baru atas kesadaran sendiri, dengan agenda sama yaitu anti-Barat.
Laporan itu juga menyatakan, upaya perang AS melawan terorisme sama sekali tidak menghasilkan kemenangan, tapi malah memperburuk posisi AS.
NCTC adalah lembaga yang memberikan masukkan pada Direktur Intelejen Nasional (DNI) terhadap operasi-operasi intelejen dan analisa-analisa terkait dengan antisipasi terorisme. NCTC juga menjadi lembaga penting bagi perencanaan strategi operasional dalam rangka melawan terorisme. NCTC beroperasi di bawah pengarahan dan kebijakan Presiden AS, Dewan Keamanan Nasional dan Dewan Keamanan Lokal. (ln/iol)