Ulama ternama Yaman mengkritik keras kebiasaan para orang tua di Yaman yang menikahkan anak gadisnya yang masih kecil. Menurutnya, tindakan para orang tua itu merupakan pelanggaran atas kemuliaan dan hak-hak wanita.
”Yaman mengenal hukum perdata di awal 90-an, yang melarang pernikahan wanita sebelum 15 tahun dan pria sebelum 18 tahun. Lalu, tahun 1996 hukum itu diamandemen, di mana dikatakan bahwa boleh bagi wali anak gadis yang masih kecil mengakadnikahkan anak kepada yang ia inginkan atau menurutnya layak untuk menikah. Ini memicu maraknya kondisi pernikahan anak gadis yang masih sangat kecil, ” papar Syaikh Anis Al-Hubaisyi.
Direktur Masjid Raya Aden itu menambahkan, sebenarnya akad nikah anak gadis itu sah, hanya saja anak itu baru boleh digauli kalau sudah dianggap layak, dan usia 15 tahun ke atas itu bukanlah patokan layak atau tidaknya digauli.
Ulama dari Yaman Selatan itu memandang perlu pembatasan usia pernikahan. Ia berpendapat, pembatasan itu untuk menjaga kemuliaan wanita, dengan tetap merujuk kepada agama dan sehat.
Pada bagian lain penjelasannya, Al-Hubaisyi juga mengungkapkan dampak dari hak wali yang tanpa batas itu. Di sejumlah kabilah para orang tua menjadikan anak gadisnya yang masih kecil sebagai jaminan hutan. Jika sang ayah tidak dapat melunasi hutangnya, maka si penghutang berhak mengawini anak gadisnya meski masih anak-anak.
Di Yaman, Al-Hubaisyi dikenal sebagai ulama yang sangat getol mengkritik aturan pernikahan, ia menekankan pentingnya pembatasan usia pernikahan dalam undang-undang.
Al-Hubaisyi menuduh kekuatan-kekuatan ekstrim yang menguasai sektor pendidikan dan peradilan sebagai pihak yang mempertahan hukum perdata itu, yang menurutnya jauh dari nilai-nilai kebaikan Islam.
Al-Hubaisyi juga mengkritik fatwa-fatwa yang berseliweran di media massa yang hanya melulu masalah "antara puser dan lutut", dan auh dari masalah-masalah kebutuhan manusia yang sebenarnya. (ilyas/alrb)