Para ulama di Tunisia melontarkan reaksi keras atas pernyataan menteri agama negara itu tentang jilbab. Menteri Agama Tunisia, Abubakar Akhzuri pekan lalu mengatakan bahwa jilbab tidak sesuai dengan budaya Tunisia, negara yang terletak di Afrika Utara itu.
Mantan Mufti Tunisia, Syaikh Muhammad Mukhtar Al-Salami menilai pernyataan menteri agama itu bermotif politis dan tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam. "Akhzur adalah seorang politikus, seperti layaknya politikus di mana saja, ia membuat pernyataan dengan latar belakang agenda politiknya," ujar Syaikh Muhammad Mukhtar.
Kritikan keras atas pernyataan menteri agama itu juga dilontarkan Imam Syaikh Abdul Rahman Khalif. "Pernyataan menteri agama yang mengkritik jilbab adalah pemikiran yang sesat," tegasnya seraya menghimbau warga Muslim di seluruh dunia untuk tetap teguh pada ajaran Islam.
Dalam wawancara dengan harian Assabah, Akhzuri mengatakan bahwa jilbab adalah ‘fenomena orang asing’ di tengah masyarakat Tunisia. "Sangat disesalkan bahwa kita tidak menghormati identitas budaya kita sendiri," kata Akhzuri.
Ia selanjutnya mengatakan bahwa pemerintah Tunisia sudah melarang warga Muslim mengenakan jubah seperti yang dikenakan di negara-negara Teluk serta melarang kaum lelakinya memanjangkan jenggotnya.
Saat situs Islamonline meminta penjelasan atas pernyataannya itu, menteri agama Tunusia menolak memberikan komentar. Padahal, Dewan Tertinggi Islam yang merupakan lembaga resmi di Tunisia melalui ketuanya Jalal Al-Gerebi juga melontarkan pernyataan atas pernyataan menteri agama yang mengundang kontroversi itu.
Selain mengecam mengecam penyataan menteri agama, Syaikh Muhammad Mukhtar dan dan Syaikh Abdul Rahman Khalif mengkritik pernyataan Munjiah Al-Sawahi, seorang profesor di sebuah universitas.
Sama halnya dengan menteri agama, Al-Sawahi mengatakan bahwa jilbab adalah ‘peninggalan budaya Yunani dan Roma’ dan tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam. Ia juga membantah kalau Syariah Islam menetapkan kode etik berpakaian yang wajib dilakukan para Muslimah.
Bukan itu saja, yang membuat para ulama di Tunisia tambah berang, Al-Sawahi menyatakan bahwa sahabat Nabi Muhammad Saw, Umar bin Khattab adalah musuh utama kaun perempuan.
"Pernyataan-pernyataan itu semua tidak masuk akal dan tidak perlu dikomentari," kata Syaikh Muhammad Mukhtar. Ia menegaskan bahwa Umar bin Khattab justru orang yang sangat dihormati oleh Muslim maupun non Muslim.
"Musuh nyata dari kaum wanita adalah mereka yang melarang kaum perempuan Islam mengikuti ajaran Syariah Islam," tegasnya.
Syaikh Khalif setuju dengan pendapat itu. Ia menghimbau para Muslimah di Tunisia untuk tetap mengenakan jilbabnya meski ada tekanan dari pemerintah agar mereka melepas jilbabnya.
Pernyataan-pernyataan anti jilbab di Tunisia ternyata mengundang keprihatinan pemuka Islam di luar negeri. Syaikh Wanis Mabruk, profesor studi Islam di Wales menilai pernyataan-pernyataan semacam itu tidak pantas dilontarkan dan merupakan sebuah hinaan terhadap Islam. Menurutnya, pernyataan anti jilbab akan makin mempertajam jurang pemisah antara rakyat Tunisia dan pemerintahnya serta akan membahayakan keharmonisan warga masyarakat Tunisia.
Larangan jilbab di Tunisia, bukanlah hal yang baru. Tahun 1981, pada masa pemerintahan Presiden Habib Burguiba (1956-1987), Muslimah dilarang mengenakan jilbab di kantor-kantor pemerintah. (ln/iol)