Ulama Maroko Resahkan Madzab Syiah

Keberadaan madzhab Syiah di Maroko yang kian hari kian berkembang secara signifikan rupanya banyak menuai keresahan kalangan ulama dan pemerintah negara kerajaan itu.

Awal bulan silam, suhu hubungan antara Maroko dan Iran jatuh pada titik terburuk, setelah Maroko memutuskan untuk memegat tali hubungan diplomatik dengan Iran, dengan alasan solidaritas ‘sunni’ terkait sengketa ekistensi antara Iran dan Bahrain. Selain itu, Raja Maroko Muhammad VI juga menyatakan Iran secara sengaja telah mencemari (tadnis) identitas Maroko yang menganut madzhab Sunni dan Maliki dengan madzhab Syiah.

Suasana mengendurnya hubungan antar kedua negara itu kian diperkeruh dengan statemen beberapa ulama Sunni Maroko yang meresahkan perkembangan madzhab ‘Ahlu Bait‘ itu di negara mereka. Mereka juga menyebut gerakan Syiah di Maroko sebagai gerakan ‘Hamisyi’ (pinggiran) dan Hasysyasyun (sempalan) yang bermasalah.

Dalam wawancaranya dengan harian al-Arabiyyah (19/3), Anggota Persatuan Ulama Maroko Syaikh Abdul Bari az-Zamzami menyatakan, sumber gerakan Syiah di Maroko berasal dari Eropa, lebih tepatnya lagi Prancis dan Belgia. Di kedua negara tersebut hidup ribuan imigran Maroko dalam suasana kebebasan mutlak.

Selain itu, az-Zamzami menyatakan adanya faktor lain yang turut menyokong gerakan Syiah di negerinya, yaitu faktor material. Kedutaan Iran di Maroko memberikan banyak mukafaah (bea) kepada orang-orang Maroko yang bisa membantu menyebarkan madzhab Syiah, selain banyaknya pelajar asal Maroko yang belajar di Iran dan akhirnya memiliki keterikatan kuat dengan Syiah.

az-Zamzami sendiri mendukung diputuskannya hubungan diplomatik antara negaranya dengan Iran. Hemat az-Zamzami, kerajaan harus ikut campur untuk membentengi akidah warganya. Di samping itu, az-Zamzami juga menyerukan untuk menarik buku-buku Iran dan Syiah dari peredaran pasar buku Maroko.

Sementara itu, di sisi yang lain, seorang ulama garda depan Maroko lainnya, Syaikh Dr. Ahmad ar-Raisuni menanggapi masalah Syiah di negerinya itu dengan kepala dingin. Ar-Raisuni justru menganggap dimunculkannya masalah penyebaran Syiah di Maroko lebih banyak dikarenakan unsur politisnya.

Pakar Maqashid as-Syariah di masa kontemporer itu menyatakan, sebelum Syiah menyebar secara signifikan di Maroko, sebelumnya telah meruyak gerakan-gerakan sekte keagamaan lain yang justru ‘lebih sesat’ semisal Ahmadiah, Bahaiah, Misionaris Kristen, Penyimpangan Seks, dan bahkan Atheisme, yang justru berkembang lebih pesat dari Syiah d Maroko.

Pentahqiq kitab kanon al-Muwafaqat karya al-Allamah Abu Ishaq as-Syathibi itu lalu menanyakan, "mengapa gerakan-gerakan dan sekte yang lebih sesat itu didiamkan saja, sementara terhadap sekte Syiah dikemukakan tanggapan yang berlebihan, sementara madzhab tersebut telah ada sejak lama dan menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi sejarah peradaban Islam?"

"Jika demikian, jelas, faktor dan pemicu utamanya lebih karena politis. Jika memang kita benar-benar hendak membentengi warga Maroko yang Sunni dan Maliki ini dari gerakan Syiah, maka selayaknya juga kita harus membentengi dan lebih lantang mengecam gerakan-gerakan yang lebih sesat itu," tambahnya.

ar-Raisuni justru mengajak kalangan pemimpin Sunni untuk mawas diri. Hemat ar-Raisuni, fenomena gerakan Syiah belakangan tak perlu ditanggapi dengan kecemasan yang berlebihan. Justru itu sebagai bahan untuk bermuhasabah dan tantangan positif.

"Gerakan Syiah bisa jadi sebagai bentuk perlawanan sebagian kalangan yang kecewa terhadap stagnasi dan gagalnya kepemimpinan kubu Sunni di dunia Islam," tegas ar-Raisuni.

Stagnasi dan kegagalan kepemimpinan poros Sunni di masa sekarang yang dikatakan ar-Raisuni tidaklah berlebihan. Sebab, selama ini, beberapa negara utama poros Sunni seperti Saudi Arabia, Mesir, Yordania, dan bahkan Maroko sendiri, justru menjadi sekutu termesra Amerika dan Israel. Negara-negara tersebut juga terbilang menjalankan politik depostik yang mengekang rakyatnya, selain minim melakukan inovasi dan terobosan, utamanya politik, pendidikan, dan teknologi mutakhir.

Hal ini sungguh jauh berbeda dengan Iran dan juga Hezbollah di Lebanon. Sejak dua dasawarsa terakhir, negeri para Mullah itu secara perlahan-lahan mulai menunjukan pengaruh kuatnya dalam segala bidang, bukan saja bagi dunia Islam, tetapi bagi skala internasional yang lebih luas. (arb/L2 Cairo)