Kasus dimuatnya kartun yang melecehkan dan menghina Nabi Muhammad di sejumlah media massa Eropa memunculkan perbedaan sikap di antara para tokoh Islam. Perbedaan sikap itu terkait sejauh mana hukumnya mentaati fatwa yang menyebutkan pemboikotan produk negara-negara yang turut menyebarkan gambar penghinaan itu. Ada sebagian ulama yang memandang fatwa itu tidak wajib dan tidak mengikat tanpa alasan. Mereka bukan tidak setuju dengan pemboikotan produk negara yang terlibat dalam kasus penghinaan Rasulullah itu, tapi menurut mereka kaum Muslimin diserahkan untuk mengikuti pemboikotan itu atau tidak, tergantung kemampuan dan sikonnya masing-masing.
Para ulama yang menyatakan fatwa itu mengikat dan wajib untuk semua individu Muslim, misalnya Syaikh Farahat Al-Munji, mantan ketua Lembaga Kajian Islam dan anggota Asosiasi Ulama Azhar di Perancis. Dalam pernyataannya kepada Islamonline, ia menegaskan, “Fatwa yang mewajibkan pemboikotan itu wajib dilakukan oleh setiap Muslim, darimanapun sumber fatwanya. Baik dari Mesir, Suriah, Indonesia atau Maroko sekalipun. Yang penting sasarannya adalah memelihara dan melindungi kaum Muslimin dan memelihara agama.” Tapi bagi mereka yang belum bisa terikat dengan fatwa tersebut Al-Munji mengatakan, “Orang itu berdosa karena ia tidak mungkin tidak bereaksi terhadap penghinaan atas Rasulullah saw yang mulia kedudukannya. Masalah itu tidak mungkin didiamkan karena telah menyentuh simbol suci Islam dan pembawa risalah Islam dari Allah swt kepada umat manusia.” Ia menambahkan, “Setiap Muslim harus marah dengan penghinaan ini. Karena ini adalah penghinaan terhadap seluruh umat Islam. Bentuk kemarahan yang paling rendah adalah tidak berinteraksi dengan pelaku kejahatan besar ini.”
Sejalan dengan pendapat ini, Syaikh Abdul Hamid Yusuf, mantan ketua Lembaga Islamic Center di New Jersey AS menyebutkan, “Setiap Muslim yang merasakan kemuliaan dengan agamanya harus komitmen dengan pemboikotan terhadap semua pihak yang terlibat dalam kriminalitas apapun yang menyentuh hak kaum Muslimin, baik skupnya individu maupun negara.” Menurutnya, jika permasalahan pelecehan itu sudah sampai menyentuh manusia paling mulia Rasulullah saw, maka kaum Muslimin harus bersatu memberi hukuman terhadap pelakunya dengan melakukan pemboikotan secara ekonomi agar setidaknya mereka merasakan salah dan kemudian tidak mengulangi perbuatannya.
Tapi ada pula ulama yang tidak seketat pendapat di atas. Seperti DR. Mahmud Asyur, mantan wakil ketua ulama Al-Azhar Asy-Syarif. Ia mengatakan, “Fatwa ini tidak mengikat seluruh umat Islam. Penerapannya terkait dengan alternatif bagi setiap muslim tergantung kondisi mereka.” Ia mengangkat permisalan, jika seorang Muslim hidup di negara Barat dan negara itu telah memiliki kesepakatan dan janji bilateral yang mengharuskan negara dan penduduknya dengan sesuatu yang bertentangan dengan fatwa itu. Dalam situasi tersebut maka fatwa itu tidak mengikat. Itu bisa terjadi selama jika ia melakukan pemboikotan lalu membawa efek negatif kepada diri dan banyak orang. (na-str/iol)