Jatuhnya Ben Ali menyingkap rezim-rezim yang korup di dunia Arab. Semuanya, para rezim di dunia Arab, mengelola negara seperti tak ubahnya organisasi ‘mafia’. Negara ditangan penguasa, yang hanya memberikan kekuasaan dan kekayaan kepada keluarga. Persis seperti organisasi mafia.
Kekayaan hanya berputar disekeliling orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Isteri, anak, saudara, dan famili-famili. Tak ada yang menetes kepada yang lain. Benar-benar mirip seperti organisasi mafia. Alat-alat negara hanya digunakan untuk melindungi keluarga, dan menjaga kepentingan keluarga.
Tentara, polisi, badan intelijen, dan birokrasi negara, semuanya diarahkan untuk menjadi ‘abdi’ kepada keluarga penguasa. Ini prototipe para penguasa dan rezemi di seluruh dunia Arab. Karena itu, para penguasa Arab, tak segan-segan melakukan kejahatan dengan kekerasan yang sangat brutal. Semuanya untuk melindungi kekuasaan penguasa dan kerabatnya. Agar jangan sampai terusik.
Anehnya, penguasa dan rezim di seluruh dunia Arab, seperti presiden dan raja, semuanya disokong oleh AS dan Barat. Tak aneh para penguasa Arab itu mempunyai hubungan baik dengan Israel, dan menghancurkan seluruh Gerakan Islam, dan para ulama, dan memang mereka itu, tak lain peliharaan para penguasa Barat. Mereka rezim-rezim yang sekuler, yang tak mengenal agama. Sekalipun mereka berjubah, dan menggunakan surban dan berkafiyeh. Tetapi, sejatinya mereka, para penentang agama, dan kolaborator Israel, yang disokong Barat.
Rezim-rezim Arab itu semuanya mempunyai dengan Israel, melalui berbagai bentuk kerjasama. Mereka menguras harta kekayaannya triliun dolar, hanya untuk memuaskan AS dan Israel, dan kedua negara itu, mengirim mesin pembunuh, yang akhirnya digunakan membunuhi rakyatnya sendiri. Mereka tak mau lagi terikat dengan Magna Carta, yang terkait dengan hak-hak asasi manusia, tetapi mereka menggunakan apa yang disebut aturan dalam organisasi mafia yang disebut dengan La Cosa Nostra. La Cosa Nostra, sebuah organisasi mafia, yang sudah beken, yang menggunakan bentuk kekerasan dan kejahatan untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan demi keluarga mereka.
Rakyat mereka dibiarkan menganggur dan tidak memiliki pekerjaan. Dibiarkan miskin hanya dengan sekerat roti. Tinggal di lorong-lorong yang gelap. Tanpa pendingin. Ketika musim panas. Sungguh sangat menyakitkan. Membiarkan para generasi muda mereka, menjadi orang-orang yang frustasi. Karena mereka kehilangan harapan. Anak-anak muda yang berumur 30 tahun, hanya dapat memandangi masa depan mereka dengan tatapan mata yang kosong.
Sementara Ben Ali dan Leila, isterinya yang ‘molek’, hidup di istana pinggiran pantai dengan rumah, yang terbuat dari marmer buatan Italia, yang dilengkapi pendingin, dan menghadapi ke laut Mediterinia. Jauh menatap laut lepas, sambil menikmati suguhan makanan yang disuguhkan para dayang mereka, dan makanan itu langsung didatangkan langsung dari Eropa.
Tak heran anak-anak muda yang berumur 30 an tahun, yang sudah menderita itu, tak banyak mempunyai pilihan, kecuali membakar diri mereka, sebagai bentuk perlawanan dan protes terhadap rezim yang bergaya seperti mafia itu. Sekarang mulai dari Tunisia, Mesir, Mauritania, semuanya meneriakkan ‘revolusi’, dan hancurkan rezim-rezim yang korup. Mereka sudah tidak tahan dengan kehidupan yang mereka hadapi. Sangat paradok.
Rakyat miskin tanpa pengahasilan dan pekerjaan, sementara para penguasanya, hidup bagaikan di negeri dongeng, yang tidak masuk nalar. Semuanya tidak ada dapat memprediksi, siapa lagi yang akan digusur dari pucuk kekuasaannya, sesudah Ben Ali, ujar Ajami, seorang penili tentang Timur Tengah kepada News Week.
Siapa Ben Ali? Dia adalah Kepala Intelijen Tunisia di tahun 1980, yang menjadi ‘begundal’ CIA, yang melaksanakan perintah CIA, melakukan pembunuhan tokoh-tokoh PLO, dan Gerakan An-Nahdahn, yang ingin menegakkan prinsip-prinsip Islam. Ben Ali menunmbangkan Habib Bourgouiba yang sudah ‘gaek’ dan sakit-sakitan. Bourgouiba memegang tampuk kekuasaan selama tiga dekade. Tokoh ini sangat sekuler dan menjadi kaki tangan Soviet.
Pasca peristiwa 11/9 yang lalu, Ben Ali melaksanakan semua perintah CIA, menghancurkan unsur-unsur gerakan Islam dari negeri Tunisia dengan kekerasan yang maha kejam. Dengan menggunakan senjata. Ben Ali yang pernah menjadi kepala intelijen itu memberangus habis kelompok Islam, yang menolak kekuasaanya yang despotis itu. Ben Ali masuk perangkap CIA dalam perang global melawan teror, yang semuanya merupakan bikinan AS.
Alasan perang global melawan teror itu, Ben Ali mengelimir kekuatan-kekuatan oposisi, terutama dari kalangan Islam, yang dianggap menjadi ancaman yang serius boneka CIA ini. Dengan kekuatan militer, polisi, dan badan intelijen Tunisia, Ben Ali mengendalkan negara secara efektif. Ben Ali dan Leila tak membiarkan siapapun, yang mengusik kekuasaannya. Maka, kekuasaan Ben Ali mirif seperti ‘gangster’, yang dengan mudah memusnahkan siapapun, yang mengancam dengan kekuatan senjata. Melihat keluarga Ben Ali dan Leila itu, seperti meliha sebuah film ‘gangster’.
Leila yang dulunya sebagai penata rambut, yang ‘molek’, dan berhasil membuat Ben Ali bertekuk lutut itu, sudah siap-siap menjelang umur Ben Ali, yang sudah mencapai 74 tahun, sementara itu Leila masih berumur 53 tahun. Pikirannya menggelayut ingin menggantikan Ben Ali. Dengn dibanti sejumlah perwira militer, dan dukungan CIA, Leila berambisi melanjutkan kekuasaan Ben Ali. Tetapi, sayangnya rakyat keburu marah, dan marahnya sudah tidak tertahan, dan membuat Ben Ali, Leila, anaknya, dan keluarganya harus menyingkir.
Di hari-hari yang indah, Ben Ali dan Leila, menikmati palayaran di pantai dengan menggunakan sebuah yacht yang sangat mewah, dan dibelinya tahun 2006, seharga $ 3 juta dolar, mengelilingi pantai Corsica. Sungguh Ben Ali dan Leila dan keluarganya, benar-benar keluarga mafia, dan yang didukung CIA. (mh/nwk)