Situasi politik di Tunisia diperkiarakan akan mengalami perubahan. Analisa ini terkait dengan keputusan mendadak Presiden Tunisia yang memberi pengampunan pada lebih dari 1.600 tahanan pemerintah, termasuk kaum Islamis yang berafiliasi kepada Harakah An Nahdhah, mengundang tanda tanya banyak pengamat. Sejumlah pengamat mengaitkan tindakan rezim Ben Ali tersebut terkait kunjungan terakhir Menteri Pertahanan AS ke Tunis.
Hamadi Al-Jabali, tokoh populer pemimpin gerakan Nahdhah Islamiyah di Tunis termasuk tokoh yang dibebaskan dari penjara. Kepada Islamonline ia mengatakan, tindakan pemerintah itu sebagai kesadaran pemerintah terhadap kondisi dalam negeri yang sudah harus dilakuka perubahan. Pengampunan itu sendiri dianggap sebagai proposal politik yang pertama untuk melakukan perubahan di Tunis.
“Tindakan pemerintah untuk membebaskan para tahanan politik merupakan orientasi yang benar. Saya berharap tindakan ini bisa dilanjutkan dengan langkah lainnya, membebaskan sejumlah tahanan lain yang masih dalam penjara,” ujar Hamadi Al-Jabali. Kepada Islamonline, Al-Jabali mengatakan, bisa jadi langkah amnesti massal ini dilakukan setelah pemerintah yakin situasi negara sudah terdesak untuk melakukan hal tersebut.
“Memang ada pula yang memandang langkah seperti itu dilatarbelakangi oleh kunjungan Menhan AS, Donald Rumsfeld pada 11 Februari lalu, juga tekanan dari sejumlah negara terhadap Tunis," katanya.
Ia mengatakan pemberian amnesti itu tidak didahului dengan dialog antara pemerintah dengan dirinya. “Tidak ada dialog apapun sebelumnya, pembebasan ini juga mengejutkan kami,” katanya. Ia mengetahui pertama kali adanya amnesti itu dari sejumlah media massa pada sore hari. Di antara 1.600 orang yang dibebaskan tanpa syarat itu, sebanyak 47 orang adalah kaum aktifis Islam gerakan Nahdhah.
Ben Ali, pemimpin Tunisia selama ini memang terkenal dengan sikapnya yang otoriter dan nyaris menutup pintu kebebasan politik di negerinya. Di masa rezimnya, gerakan-gerakan Islam yang ada di Tunisia mengalami nasib lebih tragis dari sebelumnya. Tatkala partainya menyapu bersih perolehan kursi yang ada di parlemen, ia memenjarakan lebih dari 30.000 aktivis gerakan Islam yang merupakan tulang punggung partai yang olehnya dianggap sebagai "pembangkang."
Sesungguhnya Ben Ali telah menjadikan Tunisia sebagai penjara terbuka dan pusat kebejatan moral. Walhasil, dengan salah kaprahnya pemikiran dan pemahaman rezim yang ada, Islam dan para pengembannya mengalami deraan, siksaan, dan hambatan berat.
Ben Ali melanjutkan pendekatan otoriter pendahulunya dan memuja kepribadiannya (aktivitasnya mengambil tempat banyak dari berita harian). Meski ia mengumumkan pluralisme politiknya pada 1992, Rapat Umum Konstitusional Demokratik (dahulu Partai Neo-Destour) melanjutkan dominasi politik nasional. Rezimnya masih tidak mengizinkan aktivitas oposisi dan kebebasan pers.
Pada 1999, walaupun dua kandidat alternatif yang tak dikenal diizinkan untuk pertama kalinya berada dalam pemilihan presiden, Ben Ali diangkat kembali dengan 99,66% suara. Ia kembali dipilih pada 24 Oktober 2004, secara resmi meraih 94,48% suara, setelah referendum konstitusi yang kontroversial pada 2002 yang membuatnya bertahan sebagai presiden setidaknya hingga 2014. (nuraulia/iol/albawaba)