Kedutaan Besar Republik Turki untuk Cina yang berkantor di Peking, mengeluarkan peringatan resmi kepada warga negaranya yang berada di Cina untuk lebih waspada menyusul meledaknya aksi kekerasan di wilayah Xinjiang (Uighur), Turkistan Timur beberapa hari lalu.
Dalam keterangannya, sumber kedubes Turki di Peking menjelaskan telah mengeluarkan peringatan tersebut kepada warga negaranya yang hidup di Cina, serta menghimbau mereka untuk segera melapor kepada pihak keduataan jika mendapatkan "hal-hal yang tidak diinginkan terkait kasus Xinjiang".
Peringatan ini dikeluarkan menyusul kecaman Turki atas peristiwa Xinjiang, termasuk di dalamnya demonstrasi ribuan warga Turki yang mengecam Cina, boikot produk Cina di Turki yang dilakukan langsung oleh Menteri Industri Turki, hingga kecaman dari Perdana Menteri Turki Recep Tayep Erdogan.
Erdogan, dalam sebuah jumpa persnya sekitar sepekan lalu, mengutuk aksi kekerasan yang dilakukan etnis Han dan keamanan Cina kepada rakyat Xinjiang yang mayoritas beretnis Turkistan dan beragama Islam. Erdogan bahkan menyebut peristiwa itu sebagai "holocaust", dan menyeretnya ke sidang G-8 yang digelar di Roma, Italia.
Pemerintahan Cina pun beraksi berang atas pernyataan Erdogan, dan menuntut PM kharismatik itu untuk meminta maaf dan mencabut pernyataannya.
Xinjiang (Uighur) sendiri sejatinya adalah "Republik Turkistan Timur" yang dijajah Cina sejak tahun 1948. Xinjiang memiliki keterikatan yang sangat dekat dan erat dengan Turki, karena dipertemukan oleh ras, bahasa, dan budaya yang sama, yaitu Turkistan. Orang-orang Uighur adalah etnik Turki, berbahasa dan berbudaya Turki, serta beragama Islam, yang justru jauh berkait dengan Cina.
Secara geografis, penyebaran etnik, bahasa, dan budaya Turki menyebar mulai dari Xinjiang (wisi Timur), Asia Tengah-Transoxiana (meliputi Tajikistan, Kyrgistan, Uzbekistan, Kazajhstan, Turkmenistan), Kaukasus-Kaspiania (Azerbaijan, Tatarstan), hingga Anatolia (Republik Turki Modern).
Reaksi Turki atas apa yang menimpa "saudara kandung" mereka tidaklah berlebihan. Yang justru disayangkan, negara-negara Arab belum ada yang mengeluarkan reaksi, kecaman, dan sikap setegas Turki, juga belum ada demonstrasi sebesar di Turki. Di negara-negara Arab, tragedi yang menimpa Muslim Xinjiang justru "kalah meriah" dan kalah pamor oleh isu terbunuhnya seorang Muslimah berjibab di Jerman beberapa pekan silam.
Padahal, ketika Gaza dibumihanguskan oleh Israel awal tahun lalu, Turkilah yang paling bersuara lantang dan paling menunjukan sikap tegasnya, jauh melebihi sikap negara-negara Arab yang malah melempem.
Semenjak tampuk kepemimpinan Turki dipegang oleh Erdogan sejak 2002 silam, Turki kian aktif bersuara di hadapan serangkaian problem-problem dunia Islam. Lewat Erdogan, Turki seakan kembali menunjukan sosoknya sebagai pemimpin dunia Islam dan khilafah Islamiyyah yang berkewajiban melindungi dan membela hak-hak dan harga diri umat Islam, meskipun Turki sebagai negara sekuler totok.
Dan kini, di hadapan tragedi Muslim Xinjiang, negara-negara Arab kembali menunjukan sikap tak tegasnya. Melihat hal demikian, wajar kiranya jika para pengamat banyak yang menilai bahwa Arab tak layak menjadi pemimpin dunia Islam, dan kebangkitan Islam pun tidak akan datang dari Arab, melainkan dari luar Arab, semisal Turki atau Asia Timur. (L2/wb)