Eramuslim – Semangat toleransi beragama yang diajarkan Islam bukanlah toleransi yang pasif, tetapi toleransi yang aktif dan konstruktif, yakni toleransi yang dibingkai oleh kewajiban moral untuk menegakkan kebajikan dan berlaku adil tanpa diskriminasi agama.
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
‘‘Kebenaran itu datang dari Tuhanmu. Karena itu, janganlah kamu masuk golongan yang ragu-ragu. Dan bagi tiap-tiap umat ada jurusan (orientasi hidup) yang ditujunya, maka berlomba-lombalah kamu menegakkan kebajikan.” (QS Al-Baqarah: 147-148).
Perbedaan keyakinan agama tidak otomatis menjadi halangan untuk bisa hidup secara rukun, damai, dan bersahabat. Bagi umat Islam, yang menimbulkan batas pemisah dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara dan antarnegara, bukanlah karena faktor perbedaan keyakinan agama atau perbedaan kebangsaan, tetapi sikap permusuhan terhadap agama dan umat Islam.
Segi lain yang perlu digarisbawahi bahwa umat Islam tidak dibenarkan memaksakan agama dan keyakinannya kepada orang lain. Agama bergantung pada iman dan kemauan, karena itu segala bentuk pemaksaan bertentangan dengan ajaran Islam, berdasarkan firman Allah: لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ‘‘la ikraha fiddin,” tidak ada paksaan dalam agama. (QS Al-Baqarah: 256).
Rasulullah SAW memberi contoh nyata toleransi Islam terhadap umat beragama lain. Piagam Madinah (Kitabun Nabi) yang dibuat oleh Muhammad Rasulullah SAW selaku kepala negara Islam pada tahun 1 Hijriyah/622 Masehi merupakan produk paling gemilang dalam sejarah yang merefleksikan semangat toleransi Islam.