Aksi happening art yang dilakukan sejumlah mahasiswa Al-Ikhwan Al-Muslimun hari Sabtu dua pekan lalu hingga kini masih hangat dibicarakan. Aksi yang menampilkan seni bela diri dan penanganan kerusuhan itu, disebut mirip dengan apa yang dilakukan aparat keamanan Mesir sungguhan.
Mereka, para mahasiswa Al-Ikhwan di Al-Azhar itu mengenakan kostum hitam hitam hingga mirip pasukan militer. Mereka juga mengenakan penutup kepala hitam dengan lubang di daerah mata, sebagaimana pasukan khusus anti kerusuhan. Sambil mengenakan kostum tersebutlah mereka meneriakkan yel-yel dan mengumandangkan nasyid-nasyid jihad. Mereka mengangkat-angkat mushaf Al-Quran sambil meneriakkan “qaadimuun… qaadimuun”. Mereka bukan tengah menyerang atau memunculkan aksi kekerasan, karena ternyata aksi itu berlangsung damai sekedar menyuarakan respon atas diberhentikannya delapan rekan mereka dari Fakultas Kedokteran dan Apotik.
Pembicaraan tentang aksi mahasiswa Al-Ikhwan menjadi marak lantaran ada sebagian orang menganggap mereka sebagai milisi Al-Ikhwan, sebagaimana pernah terjadi dalam sejarah Al-Ikhwan yang memiliki sayap rahasia bernama “Tanzhiim Sirri” atau “Tanzhiim Khaash”. Uniknya, para mahasiswa dan tokoh Jamaah Al-Ikhwan sendiri menolak aksi yang dilakukan para mahasiswa tersebut. Lalu muncullah pertanyaan lain, mengapa para mahasiswa melakukan aksi seperti ini dengan mengenakan pakaian militer? Apakah kini peran-peran keorganisasian Al-Ikhwan telah dipegang oleh oknum-oknum tertentu sehingga sulit dikendalikan lagi?
Seorang tokoh Al-Ikhwan yang enggan disebut namanya mengatakan, bahwa para mahasiswa itu bergerak atas dasar insiatif fardi (individual). Mereka menetapkan aksi mereka sendiri. Namun ia menolak bila itu dianggap sebagai milisi Ikhwan, karena kostum yang dikenakan itu tak lebih dari mencerminkan aksi penolakan damai. Sedangkan nasyid yang dikumandangkan adalah nasyid sebagai sarana dakwah yang biasa disuarakan di berbagai universitas Islam. Lirik nasyid tersebut adalah lirik dakwah dan hampir sering disuarakan saat pemilu parlemen yang lalu di Mesir. Ia juga menegaskan bahwa aksi para mahasiswa itu juga lebih bernuansa dakwah ketimbang politik.
Dr. Isham Arayan, salah satu tokoh Al-Ikhwan dan mantan aktifis mahasiswa di Universitas Kairo mengatakan, respon yang diberikan terhadap aksi mahasiswa itu berlebihan dan pemblow-up an kasusnya sangat kentara sekali. Menurut Arayan, pembicaraan itu ditargetkan untuk mengotori citra para pemuda yang terzalimi dan dilarang memperoleh hak mendasarnya dalam menyuarakan pendapat dan memilih wakilnya. “Media massa Mesir ingin memancing peristiwa ini untuk mencari sensasi dari Al-Ikhwan dengan mengungkapkan beberapa kesalahan Al-Ikhwan dari apa yang dilakukan para mahasiswa. Dengan mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan itu jelas bersalaah. Dengan berdalih bahwa menyuarakan aspirasi menentang kezaliman itu harus dengan hikmah, nasihat yang baik dan apa yang dilakukan para mahasiswa itu adalah aksi semi kekerasan dan jauh dari lemah lembut.
Masih menurut Arayan, yang dilakukan para mahasiswa itu tetap jauh dari praktik kekerasan seperti yang dibicarakan atau dikhawatirkan. Ia malah memandang pihak universitas justeru yang melakukan tindakan kekerasan menghadapi para mahasiswa dan pada akhirnya mengebiri pertumbuhan pergerakan mahasiswa yang baik dan damai di perguruan tinggi mereka.
Terkait aksi individu yang dilakukan para mahasiswa, Arayan mengatakan bahwa organisasi Al-Ikhwan memang memberi ruang kebebasan bagi anggotanya untuk bebas bergerak. Karena bila tidak, maka organisasi Al-Ikhwan menjadi organisasi tertutup. Ruang yang diberikan itu, tambahnya, mungkin saja memunculkan kesalahan yang dilakukan anggota. Tapi itu pun paling mungkin terjadi dalam tataran teknis dan tetap dalam bingkai anggaran dasar dan rumah tangga organisasi.(na-str)