Lauren lebih lanjut bercerita, suatu malam dia mengunjungi keluarga yang sangat miskin di Raffa. Di mana tempat tersebut merupakan tempat asal Faris Odeh, bocah Palestina yang ditembak mati oleh Pasukan Penjajah Israel pada tahun 2000.
“Malam itu saya mengetuk pintu rumah keluarga yang sangat miskin di sebuah kamp pengungsian menyedihkan. Dan seorang ibu membuka pintu seperti ini, ‘Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, silakan masuk. Selamat datang,” kata dia.
“Dia menyambut saya seolah tinggal di Taj Mahal bukan kampung kumuh. Dan wajahnya begitu cerah bercahaya. Saya penasaran apakah dia baik-baik saja sekarang. Wajahnya begitu bersinar dan sekarang saya tahu itu disebut ‘nur’. Wajahnya penuh dengan nur,” ungkapnya.
Ketika Lauren masuk ke dalam rumah itu, hanya terdapat satu ruangan dengan lantai dan dinding semen serta tidak ada apa pun di dalamnya. Yang ada hanyalah matras lusuh, yang digunakan oleh si ibu, suami, orangtua dan anak-anaknya untuk tidur.
“Dan saya marah jika ini adalah Islam. Saya tidak habis pikir kenapa orang berpuasa? Kenapa ada Tuhan tega membuat orang lapar tambah kelaparan? Dan saya tanyakan kepada ibu di kamp pengungsian Raffa ini. Kenapa kalian puasa di bulan Ramadhan? Apa tujuannya?” tanya Lauren.
“Kalian bilang Tuhan kalian membuat kalian hidup tanpa makan selama 30 hari, tapi di hari 31 kalian sudah tidak punya makan. Tuhan kalian buat kalian haus selama 30 hari dan pada hari 31 kalian cuma punya air keruh bahkan tidak ada sama sekali. Apa tujuannya? Kenapa kalian puasa?” tanya Lauren yang merasa tidak habis pikir pada saat itu.
Si ibu kemudian menatap Lauren dan memberikan jawaban yang membuat Lauren semakin tertegun.
“Saya berpuasa di bulan Ramadhan untuk mengingat (kesusahan) orang miskin,” kata ibu itu menjawab pertanyaan Lauren.
“Dia tidak punya apa-apa dan saya tidak bisa memahaminya. Kenapa dia bisa puasa untuk mengingat (susahnya) orang lain? Bagaimana dia mengingat kemiskinan orang lain sementara dia sendiri tidak punya apa-apa?” tutur Lauren sambil terisak.
Saat itu, terlintaslah di benaknya seputar pemikirannya tentang Tuhan, Islam dan menjadi Muslim.
“Jika ini adalah Islam saya ingin jadi Muslim. Jika kasih sayang Tuhan berbentuk sebuah agama, maka saya ingin agama itu. Jika kasih sayang kalian kepada sesama meski dalam keadaan sulit berbentuk sebuah agama, maka saya ingin masuk agama itu. Dan jika kasih sayang kepada para musafir berbentuk sebuah agama, maka izinkan saya jadi Muslim. Subhanallah,” kata Lauren.
Namun, butuh waktu 2 tahun hingga akhirnya Lauren Booth mantap berhijrah dan memeluk Islam.
“Butuh 2 tahun bagi saya hingga saya bersyahadat. Allah Maha Tahu berapa lama yang dibutuhkan bagi kita untuk cukup rendah hati dan hati kita bersih dari segala penyakit yang ada padanya,” tutup Lauren Booth. [viva]