Terkesan Diam Soal Guantanamo, Negara-Negara Arab Dikritik

Pemimpin-pemimpin negara Arab dinilai kurang vokal soal kamp penjara Guantanamo, bahkan setelah tiga warga Arab di kamp penjara itu tewas. Sejumlah kritik mengatakan bahwa pemimpin-pemimpin Arab terlalu bersikap hati-hati karena tidak ingin menyinggung pemerintah AS.

Sejumlah negara Arab lainnya bersikap diam karena sebenarnya mereka senang orang-orang yang dianggap berpotensi menimbulkan masalah, dipenjara. Selain itu, negara-negara Arab bersangkutan, pada dasarnya juga memperlakukan para tahanan dengan tidak manusiawi.

"Mereka diam karena mereka juga tidak menghormati hak asasi manusia. Mereka juga punya penjara-penjara sendiri yang mirip Guantanamo," kata Saad Djebbar, seorang pengacara internasional berkebangsaan Aljazair yang menetap di London.

Menurut Djebbar, negara-negara Arab yang juga menerapkan kebijakan kejam di penjara-penjaranya, hampir tidak bisa mengkritik taktik mereka sendiri yang bisa menahan orang tanpa proses pengadilan.

"Mereka menangani orang-orang yang dianggap mengancam keamanan nasional dengan perilaku yang sama," tandas Djebbar.

Ayah dari tahanan Guantanamo asal Yaman yang oleh AS dinyatakan bunuh diri bersama dua warga Arab pada 10 Juni kemarin, tidak bisa berbuat sesuatu selain memendam rasa kesal atas diamnya para pejabat pemerintah Yaman atas kasus tersebut.

"Para pemimpin Arab telah mengabaikan warga negaranya dan takut pada AS. Itulah sebabnya mereka tidak berani menyerukan agar kamp Guantanamo ditutup," kata Ali Abdullah al-Semi di ibukota Yaman, Sanaa.

Negara-negara Arab sekutu AS seperti Arab Saudi, Kuwait dan Bahrain diam-diam melobi AS agar para tahanan dari negara mereka dipulangkan, bukan untuk dibebaskan tapi akan diadili di negara asalnya.

Pada bulan Mei, 15 tahahan kamp Guantanamo dipulangkan ke Arab Saudi. Tapi sesampainya di tanah air, para tahanan itu dipenjarakan oleh otoritas Arab Saudi sambil menunggu keputusan apakah akan mengadili mereka.

Seorang pejabat Saudi yang minta jati dirinya dirahasiakan mengungkapkan, aparat berwenang Arab Saudi melakukannya secara diam-diam lewat jalur-jalur yang mereka miliki. Menurutnya, langkah itu dianggap lebih baik daripada terlibat konfrontasi dengan Washington.

Wakil Presiden National Society for Human Rights Arab Saudi, Muslih al-Qathani mengakui bahwa sejumlah negara Arab memiliki catatan buruk dalam hal penegakkan hak asasi manusia.

"Tapi bukankah AS yang selama ini disebut sebagai negara penegak hak asasi manusia, melakukan hal yang lebih buruk?" kata al-Qathani setengah bertanya.

Amnesty Internasional (AI) juga mengkritik cara AS memulangkan para tahanan kamp Guantanamo ke negara asalnya. Juru bicara AI, Nicole Choueiry mengatakan, "Pembebasan seharusnya bukan atas dasar hubungan baik antara sejumlah pemerintahan negara dengan AS."

"Semua tahanan seharusnya diberikan pengamanan minimum. Ada kewajiban AS untuk tidak mengirim mereka pulang ke negara asalnya di mana mereka menghadapi kemungkinan penyiksaan, dan itu termasuk ke negara-negara Arab," papar Choueiry.

Ia mengungkapkan, Guantanamo bisa jadi cuma ‘bagian kecil dari gunung es’, mengacu pada jaringan penjara rahasia yang dimiliki AS di seluruh dunia yang dipercaya menjadi tempat penahanan para tersangka anggota al-Qaidah.

"Apa yang mengkhawatirkan adalah keikutsertaan Arab Saudi dan negara lainnya dalam perang terhadap terorisme yang dilancarkan AS," sambung Choueiry.

Sementara itu Presiden Organisasi Hak Asasi Manusia Mesir, Hesham Kassim mengatakan, sikap anti Amerika yang disulut oleh masalah Guantanamo seharusnya bisa dimanfaatkan negara-negara Arab untuk melawan tekanan Bush soal hak asasi manusia dan demokratisasi di Timur Tengah.

Namun pendapat berbeda diungkapkan aktivis ham dan pengacara asal Yaman, Khaled al-Ansi. Ia mengungkapkan, tindakan sewenang-wenang yangdilakukan AS di penjara-penjaranya bisa menjadi legitimasi bagi negara-negara Arab untuk menindas rakyatnya sendiri. (ln/arabworldnews)