Keraguan mulai menyelimuti banyak tentara AS yang bertugas di Irak. Mereka mulai meragukan alasan mengapa mereka harus berperang di Irak dan apakah mereka bisa memenangkan perang melawan para pejuang Irak yang tangguh.
"Tak seorang-pun ingin berada di sini. Anda tahu, tak seorang-pun yang benar-benar antusias melakukan apa yang kami lakukan," ungkap Sersan Christhoper Dugger, komandan Batalyon dari Resimen Infanteri Divisi Persenjataan pasukan AS pada harian Washington Post.
"Dulu kami merasa bersemangat, tapi kemudian tidak lagi. Saya ingin bertempur seperti pada Perang Dunia II. Saya ingin menghadapi musuh. Di sini, ada musuh tapi tanpa sosok. Mereka ada, tapi mereka bersembunyi," papar Dugger.
Seorang staff militer AS, Sersan Jose Sixtos juga mengungkapkan kekesalannya. "Memikirkan apa yang paling menyebalkan tentang pekerjaan Anda. Kemudian, memikirkan bahwa Anda melakukan pekerjaan yang paling anda benci selama lima jam terus menerus, setiap hari, kadang dua kali sehari, di tengah suhu udara panas 120 derajat," tuturnya pada Washington Post.
"Lantas bagaimana dengan moral, frustrasi? Anda sendiri tidak tahu," sambungnya.
Tentara lainnya, bernama Joshua Steffey,24, mengungkapkan,"Pertama kali Anda melihat orang yang Anda kenal tewas, yang pertama kali terlintas di benak Anda adalah pertanyaan,’untuk apa dia tewas’?"
"Para komandan di Baghdad dan Pentagon selalu melihat sebuah gambaran yang besar. Tapi bagi kami, Kami tidak melihat apa-apa kecuali bom-bom yang meledak di luar sana," ujar Steffey.
"Anda kehilangan beberapa teman dan ini sangat berat. Jujur saja, rasanya seperti… kami sedang berkendaraan menunggu untuk diledakkan," tambah Tim Ivey, serdadu AS berusia 28 tahun.
Serdadu lainnya, David Fulcher, 22, mengatakan perang di Irak tidak sebanding dengan perang dunia II. "Dalam perang dunia II, gambarannya jelas, anda memahami mengapa harus bertempur, karena segelintir orang yang ingin mengambil alih dunia. Sedangkan di sini, untuk apa sebenarnya Kita melakukan invasi?" tanya Fulcher.
Serdadu Steffey melanjutkan, "Adakah seseorang yang bisa menjelaskan pada kami, yang kita lakukan ini untuk apa?"
"Mereka bilang, Kami di sini dan Kami sudah memberi mereka kebebasan, tapi sebenarnya kebebasan apa? Fulcher kembali bertanya.
Kondisi perang di Irak, bukan hanya membuat tentara AS mulai meragukan maksu dan tujuan pemerintahnya menginvasi Irak. Tapi juga membuat sebagian mereka frustrasi bahkan mengalami gangguan jiwa.
Sebuah studi di AS mengungkapkan, pasukan AS yang baru pulang dari medan perang di Irak, sebagian besar membutuhkan konsultasi kesehatan mental dan mengalami gangguan psikologis, dibandingkan dengan para tentara yang baru pulang dari Afghanistan atau daerah-daerah konflik lainnya.
Masa Depan Irak Suram
Sementara itu, Duta Besar Inggris di Irak, mengaku pesimis dengan masa depan Irak. William Patey mengungkapkan, rakyat Irak sudah tidak percaya lagi pada polisi, karena beberapa anggotanya menjadi bagian dari pasukan pembunuh di negeri itu.
Meski pesimis, Patey mengatakan masih melihat harapan dan semangat di Irak. "Saya pikir, betapapun buruknya situasi di Irak, Kita bisa membuatnya lebih baik," harapnya.
"Dan ini sangat tergantung pada rakyat Irak. Itulah sebabnya Saya tetap memberikan penilaian itu sampai Saya melihat seberapa besar kemajuan yang bisa dilakukan dalam minggu-minggu ini, bahkan berbulan-bulan dalam proses rekonsiliasi nasional ini," papar Patey. (ln/iol/bbc)