Jadon Azera, Menteri Lingkungan Zionis melontarkan gagasan soal pembebasan kopral Shalit yang hingga kini masih menjadi sandera di tangan pejuang Palestina. Ia meminta agar para petinggi Zionisme mengkaji lebih dalam kemungkinan pembebasan Sekjen Gerakan Fatah di Tepi Barat, Marwan Barghoutsi yang berada dalam tahanan Israel. Pembebasan Marwan, tambahnya, menjadi tebusan bagi pembebasan kopral Shalit.
Kantor berita Reuters mengutip perkataan menteri Zionis Israel tersebut, “Saya mendukung ide pembebasan Barghoutsi jika berhasil dicapai kesepakatan dengan pihak Palestina untuk menebus Shalit, dan Palestina sepakat juga untuk menghentikan penyusupan senjata lewat perbatasan Shalahuddin yang membatasi Palestina dan Mesir, Ghaza, serta menghentikan semua aksi perlawanan Palestina,” ujar Jadon.
Jadon, yang merupakan mantan menteri keamanan dalam negeri Israel, menjelaskan bahwa latar belakang pemikirannya melepaskan Barghoutsi adalah karena posisi Barghoutsi yang sangat penting bagi gerakan Fatah yang merupakan pendukung presiden Palestina Mahmud Abbas sebagai partner politik Zionis Israel yang hingga kini masih menjalin dialog dengan Israel. “Kita harus memberi posisi kepada Fatah jika kita ingin memantapkan posisi Abu Mazin,” ujarnya.
Pernyataan Jadon itu dilontarkan beberapa hari setelah kesepakatan Israel untuk melakukan gencatan senjata dengan menghentikan aksi militernya di Tepi Barat dan Ghaza. Juga penghentian penangkapan massal yang dalam beberapa pekan dilakukan secara intensif. Namun sore harinya, gencatan senjata itu kemudian dilanggar oleh Israel dengan serangan militer yang menewaskan seorang pemuda Palestina, dan melukai dua orang lainnya di Tulkarim, Tepi Barat.
Pandangan Jadon ini memunculkan sejumlah analisa. Disebutkan dalam Ikhwanonline, pandangan itu antara lain menandakan bahwa Zionis Israel telah merasakan kerugian besar akibat serangan pejuang Palestina. Mereka juga merasa gagal dengan segenap strategi yang mereka lakukan untuk melumpuhkan perlawanan dan menutup masalah Palestina secara final. Karena itulah, mereka mau tidak mau harus memulai dialog dengan kelompok pejuang Palestina.
Kedua, pernyataan Jadon juga mengindikasikan kekhawatiran Israel yang begitu besar terhadap semakin kokohnya perlawanan Hamas. Karena strategi pemblokadean dan isolasi hingga kini belum memunculkan hasilnya. Tekanan yang dilakukan Israel, yang diniatkan untuk memantik revolusi sosial di kalangan rakyat Palestina, justru berbalik, menambah dukungan kepada Hamas dan semakin menambah kuatnya fleksibelitas politik Hamas dalam berinteraksi politik mencapai pembentukan pemerintahan koalisi.
Langkah Hamas untuk menerima pemerintahan koalisi ini benar-benar di luar dugaan Israel, karena akan bisa menjembatani kesepahaman di antara pemimpin Palestina terhadap pemerintah Hamas. Dan kini, Israel mulai menawarkan pembebasan tokoh pejuang Palestina Barghoutsi untuk menarik simpatik kelompok Fatah. Barghoutsi adalah bapak spiritiual pejuang Syuhada Al-Aqsha, yang merupakan sayap militer Fatah.
Ketiga, mulai ramainya arus opini publik Israel bahwa pemerintahan Ehud Olmert tidak mampu berinteraksi dengan masalah Palestina seperti yang diharapkan. Karena itu, mulai muncul usulan untuk membuka dialog dan interaksi dengan tokoh perlawanan Palestina guna mencapai gencatan senjata secara utuh. Jadon meminta pembebasan Barghoutsi dengan tebusan pembebasan kopral Shalit dan penetapan gencatan senjata. Sampai saat ini, Noam Shalit yang merupakan ayah dari Ghilad Shalit telah melakukan upaya seorang diri untuk berdialog dan bertemu dengan tokoh tokoh gerakan Hamas dan Fatah di Ghaza, terkait nasib anaknya. Hal ini semakin memberi tekanan kepada Olmert.
Semua ini, tulis Ikhwanonline, menjadi penegas bahwa hingga saat ini Palestina masih unggul baik secara politik maupun militer dalam menghadapi tekanan Israel. (na/str-ikhol)