Namun di luar itu, ada imbas lain dari konflik di Afghanistan pasca-keluarnya pasukan Amerika dan pasukan asing lainnya dari negara itu. Bagi Muslim Afghanistan yang taat, mereka lega karena kini bisa kembali menjalankan perintah agama dengan beribadah ke masjid.
Pada Jumat, 3 September, Jumat pertama sejak pasukan Amerika hengkang dari Afghanistan, masjid-masjid di Kabul ramai dihadiri jemaah. Pada hari itu, ratusan jemaah menghadiri salat Jumat.
Seorang penduduk Kabul yang baru saja keluar dari masjid seusai mengikuti salat berjemaah, mengatakan:
“Dulu, sangat sedikit orang yang datang ke masjid karena takut menjadi korban pencopetan. Mungkin hanya ada sekitar 15 orang di masjid untuk mengikuti salat Subuh. Di beberapa masjid, jumlah jemaah salat Subuh mungkin jauh lebih sedikit. Sekarang jumlah jemaah sedikit meningkat tetapi orang masih takut. Semua orang mengajukan pertanyaan yang sama: Apakah Taliban sudah datang?”
Sebelumnya, para jemaah mengungkapkan, jumlah orang yang menghadiri salat di berbagai masjid di negara itu sangat sedikit. Begitu Taliban kembali, jumlah jemaah meningkat perlahan. Setidaknya di Kabul, menurut mereka, ada alasan utama yang mendorong kenaikan jumlah jemaah, insiden pencopetan selama salat spontan berhenti sejak Taliban merebut kota itu.
“Dulu orang-orang juga datang ke masjid, dan mereka datang dalam jumlah besar, tetapi sekarang jumlah itu meningkat lagi. Madrasah juga telah dibuka kembali. In Syaa Allah, efek hadirnya Taliban terhadap ulama dan orang-orang biasa akan meningkat. Pencurian dan penipuan dalam bisnis juga akan diberesi,” ujar penduduk lain, Zakir Ullah,
“Kami adalah pekerja, tetapi sejak Amir Muslim (Taliban) datang, kami tidak bekerja. Kami meminta mereka secara resmi segera mengumumkan pemerintahan dan membuka lapangan pekerjaan,” ujar penduduk Kabul, Jan Agha,
Badan-badan bantuan mengatakan Afghanistan menghadapi bencana kemanusiaan di tengah krisis ekonomi yang disebabkan oleh konflik, kekeringan, dan pandemi COVID-19. Sekitar 18 juta warga Afghanistan – kira-kira setengah dari populasi – sudah membutuhkan bantuan kemanusiaan, menurut para ahli Uni Eropa. (Sumber: VOA Indonesia)