Pemerintah AS ternyata sudah memantau semua aktivitas komunikasi di negeri itu. National Security Agnecy (NSA) misalnya, diam-diam menyadap semua sistem komunikasi baik telepon maupun internet, sementara FBI mengawasi mesjid-mesjid dan rumah warga Muslim.
Harian AS, New York Times dalam artikelnya menyebutkan, NSA melakukan analisa atas pola-pola informasi hasil pantauannya untuk mengumpulkan petunjuk secara detil seperti siapa menelpon siapa, berapa lama pembicaraan dilakukan, jam berapa telepon dilakukan termasuk dari mana dan untuk siapa sebuah e-mail dikirimkan. Sejumlah pejabat AS yang pernyataanya dikutip oleh harian tersebut mengatakan pekerjaan itu sebagai operasi penambangan data besar-besaran. Operasi ini bahkan melebihi perintah presiden AS George W. Bush pada tahun 2002 agar melakukan pengawasan tanpa surat resmi pada hubungan telepon internasional dan komunkasi lewat email terhadap orang-orang yang dicurigai punya hubungan dengan Al-Qaeda.
Tindakan melakukan pemantauan atau penyadapan semacam itu menurut undang-undang AS, Foreign Intelligence Surveilance Act (FISA) seharusnya mendapatkan persetujuan dari pihak pengadilan. Namun pihak pemerintah AS tidak mau memberi komentar atas kebijakan memantau dan menyadap sistem komunikasi elektronik yang dilakukannya secara ‘ilegal’ itu.
Lebih lanjut New York Times mengungkapkan, NSA mendapat dukungan dari perusahaan-perusahaan komunikasi besar agar bisa mendapatkan akses untuk mengawasi lalu lintas komunikasi domestik dan internasional. Untuk itu, para pejabat senior AS melakukan lobi-lobi dan mendatangi perusahaan-perusahaan komunikasi itu dengan dalih untuk membuka pintu gerbang komunikasi antara AS dengan dunia internasional. Sejauh ini, menurut harian tersebut, hubungan telepon yang secara khusus dipantau adalah sambungan telepon dari dan ke Afghanistan.
Menurut seorang mantan manager teknologi telekomunikasi pada New York Times mengatakan, sejak peristiwa 11 September, para pemuka industri telekomunikasi mengumpulkan semua informasi sambungan telepon dan menyerahkannya pada pemerintah federal guna membantu melacak kemungkinan adanya rencana serangan teroris serupa. Padahal ebelum peristiwa Black September, NSA sudah melonggarkan aktivitas pemantauannya terhadap kedutaan-kedutaan besar dan misi-misi asing atas perintah pengadilan.
Rumah Pribadi dan Mesjid-Mesjid Dimata-Matai
Belakangan, pengawasan bukan hanya dilakukan terhadap sistem komunikasi elektronik tapi juga terhadap rumah-rumah warga Muslim dan mesjid-mesjid. Menurut laporan terbaru majalah US News and World Report, puncak dari kebijakan ‘pengawasan’ AS itu adalah pemantauan terhadap 120 tempat di Washington dengan menggunakan alat pemantau khusus. Mayoritas tempat-tempat yang diawasi itu adalah mesjid-mesjid dan kantor-kantor milik komunitas Muslim.
Program pengawasan semacam itu, menurut laporan tersebut juga dilakukan sedikitnya di enam kota yaitu Washington, DC, Chicago, Detroit, Las Vegas, New York dan Seatlle. Seorang sumber majalah itu mengatakan, yang menjadi target pengawasan semuanya warga AS. Wakil Presiden AS, Dick Cheney disebut-sebut sebagai salah seorang ‘perancang’ program pengawasan itu.
Apa komentar FBI atas laporan majalah tersebut? Juru bicara FBI tidak mengiyakan atau membantahnya. Juru bicara itu hanya mengatakan,"Kami tidak bisa membicarakan sebuah program khusus," dengan dalih apa yang dilakukan FBI dalam rangka memberantas aksi terorisme di AS.
Bahkan dalam laporan American Civil Liberties Union (ACLU) pekan lalu disebutkan, atas nama pemberantasan terorisme, FBI bukan hanya memantau tapi sudah melakukan infiltrasi ke tubuh organisasi-organisasi sosial dan politis yang bersikap kritis terhadap kepentingan bisnis dan kebijakan AS.
Menanggapi kebijakan ‘mata-mata’ pemerintah AS, khususnya terhadap warga Muslim, Council on American-Islamic Relations (CAIR) menilai kebijakan semacam itu akan menimbulkan kesan bahwa negara Amerika tidak lagi diatur oleh hukum tapi oleh rasa ketakutan yang melampaui hak asasi manusia.
"Pesan yang ingin disampaikan melalui tindakan-tindakan semacam ini adalah, bahwa warga Muslim sudah sebuah bukti yang cukup bagi adanya pemantauan dan pengawasan," ujar juru bicara CAIR, Ibrahim Hooper pada Washington Post.
"Saya tidak mengerti apa manfaatnya pengawasan semacam ini. Apa yang dilakukan adalah melecehkan para imigran dan warga negara dan kita tidak menemukan satupun dari mereka yang menjadi teroris," kata Mukit Hossain, perwalian dari All Dules Area Muslim Society di Sterling.
Menurutnya, kebijakan semacam itu hanya memicu rasa anti Muslim di AS dan menimbulkan masalah bagi hubungan AS dengan negara-negara Muslim.
Untuk itu pada hari Kamis (23/12) pekan lalu, CAIR minta agar kebijakan pemerintah Bush ‘memata-matai’ warga negaranya diungkapkan secara transparan berdasarkan undang-undang kebebasan mendapatkan informasi. Dalam hal ini CAIR meminta semua catatan-catatan yang terkait dengan ‘otoritas’ Presiden Bush mendelegasikan atau secara pribadi memerintahkan pengawasan sistem komunikasi eletronik tanpa ada surat resmi dari pengadilan serta meminta daftar semua orang baik warga AS maupun warga asing, yang telah dan sedang mereka awasi.(ln/iol)