Takut Ancaman Teroris, Ekspresi Wajah-Pun Ikut Diperiksa di Bandara AS

Bagi mereka yang berencana berkunjung ke AS dalam waktu dekat ini, sebaiknya menjaga ekpresi wajah anda, supaya tidak dicurigai ingin melakukan aksi terorisme. Pasalnya, negara Paman Sam itu memberlakukan kebijakan baru di bandaranya, dengan cara deteksi perilaku para penumpang.

Transportation Security Administration (TSA) membuat kebijakan baru yang dicontoh dari kebijakan keamanan bandara Israel, yaitu sistem Screening Passenger by Observation Technique atau system pemeriksaan penumpang dengan teknik observasi. Pemantauan itu dilakukan mulai dari ekspresi wajah, gerak tubuh dan gerak mata, untuk mengetahui apakah penumpang yang bersangkutan punya ‘niat jahat’, demikian laporan The New York Times.

“Pemeriksaan berdasarkan perilaku manusia bisa jadi hal yang paling sulit dilakukan. Anda tidak tahu apa yang akan anda lihat,” kata Waverly Cousin, mantan polisi dan petugas pemeriksaan di pos-pos penjagaan, yang kini menjabat sebagai supervisor unit deteksi perilaku di Bandara Internasional Dulles.

Untuk menjalankan kebijakan deteksi ini, TSA menempatkan tim-tim khusus di bandara-bandara. Tim ini akan melihat bagaimana ekspresi wajah penumpang, gerak tubuh dan gerak matanya melalui monitor yang akan memberi petunjuk jika penumpang bersangkutan menunjukkan indikasi stress atau disorientasi.

Jika tim merasa ada sesuatu yang mencurigakan dari penumpang tadi, maka mereka akan meminta penumpang itu untuk melewati pemeriksaan lebih lanjut.

Menurut Direktur TSA, Kip Hawley, ada cara yang lebih akurat untuk menemukan sesuatu yang akan digunakan sebagai senjata atau untuk menyembunyikannya. “Tapi, jika anda bisa mengindentifikasi seseorang, maka akan jauh lebih baik untuk menemukan kemungkinan adanya ancaman,” katanya.

Saat ini, baru beberapa bandara saja di Amerika Serikat yang menerapkan sistem pemeriksaan penumpang dari perilakunya.

“Kelihatannya memang tidak akan efektif untuk menemukan tersangka. Tapi, mungkin ini adalah cara terbaik yang bisa dilakukan saat ini, meski belum cukup memadai,” kata Paul Ekman, pensiunan profesor bidang psikologi dari University of California, San Francisco.

Ekman yang ahli dalam bidang deteksi kebohongan dan penipuan, membantu TSA dalam menerapkan program pemeriksaan penumpang ini. Ia mengakui, program pemeriksaan semacam ini di bandara-bandara tidak terlalu sukses. Ia menekankan keberhasilan ditentukan oleh interogasi lanjutan terhadap para penumpang yang dianggap mencurigakan dan tergantung pada sistem deteksi perilakunya.

Menurut Ekman, sistem ini berdasarkan pada ekspresi-ekspresi wajah saat wawancara dilakukan pada penumpang, dalam kondisi duduk, dan bukan pada saat penumpang antri di bandara.

Mantan Direktur keamanan bandara internasional Ben-Gurion di Tel Aviv, Rafi Ron yang membantu melatih para petugas di bandara Logan mengatakan, system ini banyak memiliki kelemahan.

Pada umumnya, kata Ron, para calon penumpang di bandara, ditanyai hal-hal yang formal saja, yang tidak memerlukan pemeriksaan perilaku. Ia mencontohkan kasus Richard Reid yang dikenal sebagai pelaku bom sepatu. Ketika tiba di bandara internasional Paris, Charles de Gaulle, petugas bandara sempat mencurigai Reid. Tapi setelah polisi menanyainya, Reid tetap bisa lolos masuk ke pesawat.

“Jika anda tidak melakukan wawancara yang tepat, anda akan kehilangan apa yang menjadi hal paling penting dan paling kuat dari prosedur yang ada,” kata Ron.

Protes

John F. Lenihan, direktur bagian keamanan transportasi di bandara Dulles mengatakan, sejak program pemeriksaan penumpang melalui perilaku ini diberlakukan, setidaknya sudah ada 50 orang yang harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut oleh polisi. Sementara belasan orang lainnya, terkena tuduhan pelanggaran hokum seperti masalah keimigrasian atau pemalsuan dokumen perjalanan.

Program TSA ini, juga menuai kritik antara lain dari organisasi yang mengkampanyekan anti rasialisme, American Civil Liberties Union’s Campaign Against Racial Profiling.

Seorang aktivisnya, John Reinstein menyatakan, besar kemungkinan metode pengamanan ini dilakukan dengan cara yang diskriminatif.

Setidaknya, saat ini sudah ada gugatan hukum terhadap program tersebut, yang diajukan oleh Black Downing, kordinator nasional Campaign Against Racial Profiling. Ia diciduk oleh aparat kepolisian di bandara Logan, ketika baru turun dari pesawat dan melakukan hubungan telepon. Menurut Downing, ia melihat aparat kepolisian mendengarkan pembicaraan teleponnya.

Begitu ia menutup handphone-nya, beberapa petugas menanyakan identitasnya. Hal serupa dilakukan ketika Downing hendak naik taxi. Si petugas mengatakan bahwa dirinya akan menuju ke ‘pusat kota’ kecuali Downing menunjukkan identitasnya. (ln/iol)