Tajikistan, negara yang menganut paham sekular akan memberikan mata pelajaran khusus tentang sejarah Islam bagi siswa-siswi sekolah menengah pertama. Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Pendidikan Tajikistan, Abdjabbaour Rahmanov, Rabu (25/1).
"Kementerian pendidikan sudah mempelajari draft undang-undang yang memungkinkan dimasukkannya sejarah Islam dalam buku-buku teks sekolah di negara ini," Rahmanov.
Ia mengatakan, kebijakan ini akan membantu para siswa untuk mengetahui lebih banyak lagi sejarah Islam dari dulu hingga sekarang. "Banyak orang tua yang meminta agar kementerian pendidikan memberikan pengajaran tentang sejarah Islam di sekolah. Kami ingin meningkatkan kesadaran tentang agama di kalangan siswa-siswi sekolah dan mengantisipasi ideologi-ideologi yang ekstrim," jelas Rahmanov.
Mayoritas penduduk Tajikistan adalah penganut agama Islam. Sekitar 85 persen dari 6 juta penduduk negeri itu adalah Muslim Sunni.
Inisiatif pemerintah untuk memberikan jam pelajaran untuk bidang studi sejarah Islam di sekolah-sekolah, mendapat sambutan positif dari para pemuka Islam di negara bekas bagian Republik Soviet di Asia Tengah itu.
"Ini merupakan hal yang positif dan langkah yang penting," kata Muhidin Kabiri, kepala deputi Partai Pembaharuan Islam di Tajikistan. "Tapi kebijakan ini agak terlambat bagi Muslim Tajikistan mengingat banyak negara-negara Eropa yang sudah menjadikan pelajaran agama sebagai pelajaran wajib di sekolah-sekolah," sambung Kabiri.
Meski demikian, sejumlah kritikan terhadap kebijakan ini mengatakan, pemberian mata pelajaran sejarah Islam akan menimbulkan ketidakadilan bagi kelompok minoritas. "Inisiatif ini kontradiktif dengan paham sekular yang dianut pemerintah, yang melarang jilbab di sekolah-sekolah dan universitas," kata Lidia Asamova, anggota organisasi War and Peace Center for Strategic Studies.
Sementara para ahli menilai, kebijakan pemerintah ini sebagai alat tawar menawar untuk meredam kemarahan masyarakat Tajikistan soal larangan berjilbab. "Lebih dari itu, pemerintah ingin lebih jauh menjalin hubungan dekat dengan Islam dan identitas Tajik untuk mengkonter pengaruh budaya Turki dan Rusia," ujar Mutiallah Tayeb, seorang pakar di Central Asian Affair pada Islamonline.
Pada bulan Oktober lalu, Rahmanov mengatakan bahwa jilbab mewakili ideologi keagamaan dan bertentangan dengan undang-undang pendidikan.
Meski mayoritas penduduknya beragama Islam, pemerintah Tajikistan kerap mengeluarkan kebijakan yang membatasi Muslim di negara itu untuk menjalankan ajaran agamanya. Pemerintah bahkan melarang remaja yang usianya di bawah 16 tahun untuk sholat di masjid, meski larangan ini tidak sesuai dengan konstitusi negara itu yang melindungi kebebasan menjalankan ajaran agama bagi semua rakyat Tajikistan. (ln/iol)