Revolusi dan Perlawanan Bersenjata
Yahya Ibrahim Hassan Al Sinwar dari kota pesisir Askalan (Ashkelon, wilayah Palestina yang kini dirampas Israel), yang mayoritas penduduk asli Palestina di sana bermata pencaharian sebagai nelayan sebelum dirampas oleh milisi Zionis.
Ia lahir di kamp Khan Younis di Gaza dari orang tua yang mengungsi secara paksa pada peristiwa Nakbah 1948. Usai menyelesaikan pendidikan di sekolah yang didirikan UNRWA, Yahya Sinwar mendaftar di Universitas Islam Gaza.
Yahya sangat terlibat dalam aktivisme politik sejak masa mudanya. Sebagai mahasiswa, ia memimpin Blok Islam di Universitas Islam Gaza di mana ia menerima gelar Sarjana dalam bidang Studi Bahasa Arab.
Pada tahun 1982, Yahya Sinwar, pada usia 19 tahun, ditangkap oleh Zionis dan dipenjara selama 4 bulan tanpa alasan. Namun, kemungkinan besar ia ditahan karena aktivitas revolusioner anti-Zionis.
Yahya Sinwar pernah lima kali terpilih dalam pemilihan universitas dan menjadi presiden dewan perwakilan mahasiswa.
Setelah beberapa bulan di penjara Zionis, ia keluar dari tahanan dengan dedikasi terhadap pembebasan Palestina yang lebih tinggi lantaran bertemu dengan para revolusioner Palestina lainnya di dalam tahanan.
Pada tahun 1985, ia ditangkap lagi. Selama masa tahanannya yang kedua di penjara penjajah, ia bertemu dengan Syeikh Ahmad Yassin, pendiri dan pemimpin Hamas, yang akan didirikan beberapa tahun kemudian.
Kedekatannya dengan Syeikh Yassin memberinya aura kehormatan dan membuka jalan untuk naik jabatan di jajaran Hamas. Setelah dibebaskan pada tahun 1985, Sinwar bekerja secara ekstensif dalam pengorganisasian politik: meningkatkan aktivisme menjadi aksi bersenjata yang terorganisir.
Pada tahun itu, Yahya Sinwar mendirikan organisasi Al-Majd, kelompok pejuang bersenjata yang kemudian bergabung menjadi Hamas ini didedikasikan untuk membersihkan Gaza dari para pengkhianat.
Yahya Sinwar, sebagai pemimpin kelompok Al-Majd, akan mencari kolaborator dan mata-mata lokal, dan mengeksekusi mereka.
Pekerjaan keamanan Yahya Sinwar saat itu adalah bagian dari upaya akumulasi dalam strategi konsolidasi Gaza sebagai benteng perlawanan, titik Archimedes pembebasan Palestina.
Pada tahun 1988, saat berusia 25 tahun, Yahya Sinwar ditangkap untuk ketiga kalinya dan dipenjara seumur hidup karena menggagalkan aksi spionase dan intelijen Israel di Gaza yang bertujuan untuk mendeteksi warga Palestina yang terlibat dalam Intifada Pertama.
Bebas setelah 23 Tahun
Terpisah secara paksa dari praksis gerakan pembebasan, Yahya Al-Sinwar menghabiskan masa-masa awal kedewasaannya di penjara-penjara ‘Israel’.
Selama 23 tahun dalam penjara penjajah ‘Israel’, Sinwar dihormati sebagai orang kuat Hamas bersama rekannya Rawhi Mushtaha. Hamas beberapa kali menunjuk keduanya menjadi wakil tahanan.
Ketika di penjara Al-Majdal, kota di mana keluarganya diusir oleh tentara Zionis pada 1948, rencananya untuk melarikan diri terbongkar dan ia ditempatkan dalam kurungan.
Peluang untuk melarikan diri sekali lagi muncul ketika di penjara Ramleh, tetapi akhirnya gagal.
Dari jauh, ia menyaksikan sejarah yang bergulir dengan cepat, adanya disintegrasi Uni Soviet pada tahun 1991, konsolidasi hegemoni Amerika Serikat (AS) yang berjalan lambat, invasi Amerika Serikat ke Afganistan pada tahun 2000, invasi Amerika Serikat ke Iraq pada tahun 2003.
Setelah itu ia melihat Perjanjian Oslo yang “menetralkan” PLO pada tahun 1993, dan pertumbuhan pemukiman haram ‘Israel’ yang terus meningkat di Tepi Barat, yang kesemuanya itu membuatnya gelisah dan tak sabar untuk kembali melanjutkan praksis revolusinya.
Sejalan dengan itu, ia juga menyaksikan pembebasan Lebanon Selatan pada tahun 2000, pembebasan Gaza pada tahun 2005, kemenangan perlawanan Lebanon melawan agresi ‘Israel’ pada tahun 2006, konsolidasi aliansi Poros Perlawanan regional, Intifadah Pertama, dan Intifadah Kedua yang pasti membuatnya bersemangat untuk melanjutkan praksis revolusinya.
Pada 2006, sayap militer Hamas – Brigade Izzuddin Al-Qassam – dan pejuang dari dua kelompok di Gaza menangkap seorang prajurit Zionis bernama Gilad Shalid, yang sedang bertugas di tenggara Jalur Gaza.
Selain itu, kemenangan Pemilu Hamas yang mengubah permainan di Gaza pada tahun 2006, membuatnya dipenuhi dengan kepuasan seorang pemenang yang melihat pemenuhan tujuan strategis yang telah lama ia perjuangkan; yakni kemenangan perantara dalam mengkonsolidasikan Gaza sebagai benteng perlawanan.