Al-Azhar Kairo, pusat studi Islam Sunni dunia, pada hari Senin kemarin (20/6) menyerukan untuk terwujudnya sebuah negara modern, demokratis dan sekuler di Mesir di mana seluruh tempat ibadah dilindungi.
Imam Besar Al-Azhar, Syaikh Ahmad al-Thayyib, dalam sebuah siaran langsung pada sebuah konferensi pers, mengungkapkan dokumen yang dirumuskan oleh Al-Azhar dan para intelektual Mesir yang bertujuan untuk menentukan "hubungan antara Islam dan negara dalam fase yang sulit."
Dokumen tersebut mendukung pembentukan sebuah negara modern, demokratis, konstitusional berdasarkan pemisahan kekuasaan dan menjamin hak yang sama untuk semua warga negara, kata Syaikh al-Thayyib.
Namun, ia mengatakan bahwa prinsip-prinsip syariah, atau hukum Islam, harus tetap menjadi sumber penting dari undang-undang dan orang Kristen dan Yahudi harus memiliki pengadilan sendiri yang mereka dapat memilihnya.
Dokumen tersebut mendesak perlindungan tempat ibadah bagi para pengikut tiga agama monoteistik dan menganggap hasutan perselisihan dan pidato rasis sebagai kejahatan terhadap bangsa.
Langkah itu muncul di tengah perdebatan luas tentang masa depan lembaga Al-Azhar setelah penggulingan Presiden Hosni Mubarak, dan di tengah meningkatnya pengaruh Ikhwanul Muslimin, gerakan Islam yang paling terorganisir di negara itu.
Warga sekuler Mesir dan masyarakat Kristen Koptik takut jika kelompok Islam mengambil alih kekuasaan dalam pemilu parlemen yang direncanakan bulan September mendatang, setelah konstitusi baru disusun.
Pada bulan April, dewan militer yang berkuasa setelah penggulingan Mubarak mengatakan tidak akan mengizinkan Mesir diperintah oleh pemerintahan ala Khomaini, mengacu pada Ayatullah Khomaini yang memimpin revolusi Islam Iran pada tahun 1979.
Syaikh Al-Thayyib juga menyerukan independensi Al-Azhar, dimana imam dari institusi itu tidak akan lagi ditunjuk oleh presiden tapi dipilih oleh sebuah perkumpulan ulama senior. (fq/fr24)