Masalah pendirian masjid sudah bertahun-tahun menjadi perdebatan di Yunani, namun tidak pernah membuahkan hasil.
Minggu ini, perdebatan tentang boleh tidaknya pembangunan masjid di negara yang mayoritas penduduknya Kristen itu kembali ramai. Anggota legislatif Yunani kini sedang mempertimbangkan apakah akan mengembalikan kembali bangunan masjid yang berada di distrik Monastiraki, sebuah lokasi wisata di Athena, sesuai fungsinya. Saat ini, bangunan masjid itu digunakan sebagai musium seni.
Perdebatan apakah bangunan masjid itu akan dikembalikan pada fungsinya sebagai tempat peribadatan umat Islam mencuat, sehari sebelum Council of Europe mengeluarkan laporan tentang kurangnya tempat ibadah bagi umat Islam di Yunani.
Dalam laporannya, Komisaris Dewan Hak Asasi Manusia Eropa Alvaro Gil Robles mengatakan, otoritas pemerintahan Yunani tidak memenuhi janjinya untuk membangun sebuah masjid di distrik Peania, Athena sebelum berlangsungnya olimpiade Athena 2004 lalu. Akibatnya, banyak warga Muslim yang masih melakukan ibadahnya di tempat-tempat yang tersembunyi dan sebenarnya tidak layak untuk menjadi tempat sholat.
"Membangun sebuah masjid di Peania butuh waktu 2-3 tahun… tapi gedung di Monastiraki siap digunakan," tulis surat kabar pro-oposisi Ta Nea yang menulis berita tentang persoalan ini pada 28 Maret lalu.
Media massa Yunani banyak menurunkan berita tentang laporan Dewan Eropa ini. Perdebatan pun mulai mencuat antara yang pro dan kontra, namun keduanya menggaris bawahi usulan yang diajukan soal bangunan masjid di Monastiraki yang dibangun pada tahun 1759 pada massa kekuasaan khilafah Usmaniyah, letaknya berdekatan dengan gereja ortodoks Yunani Kathedral di pusat kota.
"Mengembalikan fungsi masjid itu yang letaknya di Acropolis dan dekat dengan gereja-gereja, akan menjadi bukti toleransi kota kita," kata Marios Begzos, seorang profesor filsafat agama di Universitas Athena.
"Saya tidak keberatan dengan masjid di Monastiraki sepanjang Turki memberikan kunci Haghia Sophia pada pihak Orthodox Ecumenical Patriarchate," kata anggota legislatif dari kelompok konservatif Stelios Papathemelis, merujuk pada gereja Bizantium kuno yang diubah menjadi masjid ketika kekuasaan Usmaniyah, Turki menguasai kota itu pada 1453.
Atas perdebatan soal masjid di Monastiraki, pemerintah Yunani bersikeras untuk tidak memberikan keputusan apapun atas masalah itu.
Warga Muslim Yunani sampai saat ini belum punya masjid yang layak sebagai tempat peribadatan, kecuali di kota Thrace, wilayah Yunani yang paling dekat dengan perbatasan Turki. Di Thrace terdapat sekitar 100.000 komunitas Muslim keturunan Turki yang taat.
Pihak gereja Yunani Orthodoks yang paling berpengaruh di negeri itu tidak mau memberikan komentar resmi soal usulan Monastiraki. Meski Ketuanya Uskup Christodoulos pada bulan Desember lalu menyatakan dukungannya atas pendirian masjid di kota Athena.
"Merupakan keinginan kami untuk membangun masjid, tanpa menciptakan pertentangan dan fanatisme agama," kata Deputi Menteri Pendidikan, George Kalos belum lama ini di hadapan anggota parlemen.
Namun TV-TV Yunani menyuarakan ketidaksetujuannya dengan menayangkan wawancara sejumlah pemilik toko di distrik itu yang mengatakan bahwa pembangunan masjid bisa merusak karakter lokasi kunjungan turis itu.
Deputi kelompok liberal independen Stefano Manos mengkritik pemerintah yang hanya mendengar pandangan dari pihak gereja orthodoks tanpa peduli dengan suara atau berkonsultasi dengan warga Muslim di Yunani.
"Tak seorangpun menanyakan kami sesuatu," kata Imam Munir Abdultrassou dari komunitas Muslim Sudan. Ditanya soal usulan agar bekas masjid di Monastiraki dipulihkan kembali fungsinya, Munir berpendapat bahwa hal itu hanya memberi jalan keluar ‘sementara’ saja karena ukuran banguannya yang sempit.
Menurutnya, secara keseluruhan inisiatifnya harus ditujukan pada upaya menciptakan perdamaian seperti yang telah dilakukan negara Arab Saudi yang sudah bertahun-tahun melobi Yunani agar diizinkan mendirikan masjid di Athena. (ln/middleeastonline)