Menteri Luar Negeri Suriah, Walid Maalim mengecam pemerintah AS yang diindikasikan membantu pendanaan kelompok separatis anti pemerintah Suriah. Kecaman tersebut disampaikan Walid dalam konferensi pers di Damaskus, terkait keputusan Washington pekan lalu untuk memberikan bantuan sebesar 5 juta dolar untuk kelompok yang disebut AS dengan “Kelompok Reformasi Demokratik Suriah”.
Menanggapi keputusan AS tersebut, Suriah segera menuding AS telah melakukan intervensi dan campur tangan yang harus ditolak untuk urusan dalam negeri Suriah. Damaskus memandang apa yang dilakukan AS adalah dalam rangka meningkatkan tekanan AS terhadap Suriah, terkait tewasnya PM Libanon Rafiq Hariri. Terbunuhnya mantan PM Libanon, Rafik Harari, memancing kemarahan AS. Negeri adikuasa itu langsung menarik duta besarnya dari Suriah, kendati pemerintahan Bush tidak secara ekplisit menuding keterlibatan Suriah dalam pembunuhan itu. Harari sendiri sebelum tewas telah melontarkan protes atas pengaruh Suriah di negerinya.
Sumbangan AS itu diambil dari anggaran khusus Washington yang konon memang untuk menyokong proses reformasi di Timur Tengah dan Utara Afrika. AS telah menyiapkan dana hingga saat ini sebesar 300 juta dolar untuk berbagai proyek reformasi di 14 negara dan sejumlah lokasi di Palestina. Belum diketahui apakah sebelumnya sejumlah kelompok oposisi Suriah juga mengajukan permintaan pendanaan kepada AS atau tidak.
Washington sendiri hingga kini tengah menerapkan sejumlah embargo atas pemerintah Suriah sejak 2004. AS menuduh Suriah menyokong terorisme karena membiarkan kelompok bersenjata Hizbullah memerangi Israel. Tahun 2003, konflik Suriah – AS mulai memanas. Suriah menuntut Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengutuk serangan udara Israel terhadap apa yang disebut sebagai kamp pelatihan teroris dekat Damaskus. Namun, Amerika Serikat justru menyatakan tidak akan mendukung resolusi apa pun untuk mengkritik serangan terhadap Israel. AS tetap menuduh Damaskus berada di pihak yang salah dalam perang melawan terorisme.
Kebencian AS juga makin menjadi ketika Hizbullah memenangkan suara terbesar dalam pemilu parlemen di Libanon pertengahan 2005. Kasusnya mirip dengan sikap AS terhadap kemenangan Hamas di Palestina. Gedung Putih mengatakan, tetap menganggap Hizbullah sebagai kelompok teroris, meskipun organisasi itu mengumpulkan suara besar dalam pemilihan anggota parlemen Libanon. Juru bicara Gedung Putih Scott McClellan menegaskan sikap Amerika, sehari setelah Hizbullah dan Gerakan Amal memenangkan ke-23 kursi parlemen dalam pemilu tahap kedua. (na-str/aljzr)