Ramadhan bagi sebagian warga Irak, menyisakan kenangan pilu karena Ramadhan kali ini, keluarga mereka tidak utuh lagi.
"Tahun ini, saat berbuka puasa, meja makan kami setengahnya kosong, " kata Sarah Muhammad yang biasanya sibuk menyiapkan makanan untuk berbuka puasa bersama seluruh anggota keluarganya.
Tapi empat bulan yang lalu, suami dan seorang anak lelakinya dibunuh oleh kelompok militan di Irak dan sekarang ia hanya hidup dengan seorang anak lelakinya.
"Sejak mereka pergi, kami tidak punya alasan untuk merayakan apapun. Saya kehilangan suami yang rajin beribadah selama bulan Ramadhan dan seorang anak lelaki yang senang membantu saya di dapur, " kata Sarah mengenang masa-masa indah Ramadhan saat keluarganya masih utuh.
Masih banyak warga Irak yang senasib dengan Sarah. Mereka tidak terlalu antusias menyambut Ramadhan karena kehilangan sanak saudaranya. "Bagi kami, Ramadhan selalu menjadi saat penuh cinta dan kekuatan. Keluarga selalu berkumpul bersama.Tapi hari ini, Ramadan menjadi kepedihan dan penderitaan" kata Khalid al-Hashimy, ayah dari tiga anak.
Dua bulan yang lalu, salah seorang anak lelaki al-Hashimy meninggal dunia akibat terkena tembakan di dekat rumah mereka. "Dia adalah anak yang setiap tahu membuat Ramadan kami menjadi simbol keceriaan dan sedekah. Sekarang kami merasakan ada ruang kosong dalam kehidupan kami. Ramadan kali ini terasa sangat berat, setelah kepergiannya, " tutur al-Hashimy pilu mengenang puteranya.
Di tengah penjajahan pasukan asing dan aksi-aksi kekerasan di negaranya, warga Irak banyak yang merasa kehilangan spirit Ramadan seperti yang mereka rasakan di masa lalu.
"Dulu, Ramadhan adalah saat yang menyenangkan. Sekarang, Ramadhan berubah menjadi hari-hari yang sulit bagi rakyat Irak, kecuali buat para politisi yang berduit, " imbuh Waleed Abdul-Latif.
Menurut Abdul-Latif, sebelum invasi AS tahun 2003, rakyat Irak biasanya saling memberi, terutama pada orang-orang yang tidak mampu. "Tapi Ramadhan kali ini, kami harus benar-benar berjuang mempertahankan hidup. Tidak punya pekerjaan, harus membayar sewa rumah dan mengalami banyak aksi-aksi kekerasan, " kata Abdul-Latif dengan nada pahit.
Para pemilik toko yang biasa memanfaatkan suasana Ramadhan juga mengeluhkan kondisi bisnis mereka yang tersendat-sendat. "Banyak orang yang tidak punya uang dan sebagian masih berduka karena kehilangan anggota keluarga dalam peperangan, sehingga enggan merayakan bulan spesial ini seperti yang biasa mereka lakukan, " kata Abu Zainab, seorang pemilik toko di Baghdad.
"Ini adalah suasana Ramadan yang baru di Irak, " tukasnya suram. (ln/iol)