Sesudah kelompok Selatan memenangkan referendum beberapa bulan lalu, dan menjadi negara merdeka, dan lepas dari Sudan Utara, sekarang pemerintahan baru menghadapi pembrontakan yang sangat eskalatif. Pertempuran berlangsung luas antar faksi-faksi di dalam negara baru itu.
Para analis memperingatkan risiko Sudan Selatan akan menjadi negara gagal, karena tidak mampu menciptakan stabilitas di kawasan itu. Dikawatirkan Sudan Selatan tidak mampu mengendalikan krisis yang semakin parah. Dikabarkan puluhan ribu pengungsi membanjiri negara-negara di sekeliling Sudan Selatan, akibat konflik yang luas itu, dan ini sangat mempengaruhi bantuan PBB, yang digalang oleh sepuluh negara oleh lembara multirateral itu.
Setidaknya 55 pemberontak tewas ketika tentara Sudan Selatan bentrok dengan milisi pemberontak, ujar seorang menteri negara bagian itu hari Minggu, terbaru dalam gelombang kekerasan di seluruh wilayah Selatan.
Banyak warga sipil yang tewas dan luka-luka akibat bentrokan yang terjadi, ujar seorang menteri dari Nil Atas, Peter Lam.
Selatan wilayah yang kaya minyak memilih memisahkan dari Utara dalam sebuah referendum Januari lalu, sesuai dengan kesepakatan damai 2005 yang mengakhiri puluhan tahun perang saudara di Sudan. Referendum yang berlangsung Januari lalu, mengakhiri status Sudan Selatan, sebagai bagian Sudan Utara, dan sekarang masih terus menghadapi kekerasan, tanpa henti.
Tentara selatan (SPLA) sedang berperang dengan setidaknya tujuh milisi pemberontak, dan pembrontakan melawan suku-suku tradisional, dan meningkat sejak permulaan musim hujan, ujar seorang pejabat PBB. Setidaknya lebih dari 800 orang tewas selama setahun ini.
Milisi yang sekarang berkuasa SPLA pada Sabtu, dikabarkan bentrok dengan pasukan yang setia kepada komandan pemberontak Gabriel Tang, yang menuntut pasukannya diintegrasikan ke dalam militer pemerintahan baru Sudan Selatan, ujarnya. "Kami mengetahui bahwa di samping (pasukan Tang) 55 tewas, juga termasuk lima jendral," ujar seorang pejabat militer Sudan selatan.
"Kami tidak mendapat laporan dari mereka yang tewas dari SPLA dan sisi sipil tetapi angka kematian (keseluruhan) harus jauh lebih tinggi," katanya, menambahkan ibukota negara Malakal telah menerima 34 tentara SPLA terluka dan 43 luka sipil.
Bentrokan terjadi di Malakal Selatan, tepat di seberang perbatasan di negara Jonglei, ujar pejabat SPLA.
Dalam insiden terpisah di Jonglei, pegawai Sudan PBB Program Pangan Dunia (WFP) tewas pada Jumat, akibat serangan oleh orang yang tak dikenal, ujar seorang pejabat WFP hari Minggu.
Sudan Selatan yang menjadi negara kesatuan, di mana sekarang kelompok pemberontak yang berkuasa yaitu SPLA, ujar pejabat SPLA Petrus Gadet minggu ini, menghadapi serangan yang berkelanjutan terhadap SPLA oleh milisi-milisi yang merupakan bagian dari SPLA, yang sekarang menuntut pembagian kekuasaan bagi mereka. Setidaknya 45 orang tewas selama berlangsungnya bentrokan antara kekuatan militer SPLA dengan kekuatan milisi yang ada di Sudan Selatan, ujar seorang pejabat SPLA. Gadet mengatakan, ofensif militer akan terus dilanjutkan terhadap kelompok-kelompok milisi yang sekarang melakukan pemberontakan sampai mencapai kemenangan, ucap Gadet.
Produksi minyak di negara baru itu terganggu oleh kekerasan. Menurut seorang pejabat Sudan Selatan, mengatakan, mula para pekerja minyak meninggalkan ladang-ladang minyak, karena ancaman keamanan, tetapi mereka sekarang telah kembali ke tempat-tempat pekerjaan mereka, tambahnya.
Menteri Informasi Negara Kesatuan Gideon Gatpan Thoar tidak bisa mengkonfirmasi pada hari Minggu apakah sudah kembali. Sudang Selatan sangat tergantung dari minyak, hampir 98 persen dari anggaran Selatan berasal dari pendapatan minyak, dan sesudah merdeka dari Utara, masalah sumber anggaran negara tetap tidak terpecahkan.
Saat ini hanya sekitar 50 persen minyak yang dapat dieksport melalui Utara. Kementerian minyak tidak mengatakan dampak terhadap produksi minyak Sudan Selatan, yang ditargetkan 500.000 barel per hari itu, akibat terus berlangsungya kekerasan.
Kelompok pemberontak menuduh pemerintah berusaha berkuasa tanpa batas waktu, dan pemerintahan baru tidak cukup mewakili semua kelompok suku, dan mengabaikan pembangunan di daerah pedesaan, ujar seorang juru bicara pemberontak. (mh/wb)