STRATEGI POLITIK MILITER VS IKHWAN DARI MASA TRANSISI MENUJU KURSI PRESIDEN

STRATEGI POLITIK MILITER VS IKHWAN DARI MASA TRANSISI MENUJU KURSI PRESIDEN 

jamaluddin Mahasiswa Pasca-sarjana Jurusan Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Qur`an di Omdurman Islamic University-Sudan Pergolakan politik semakin terlihat jelas ketika dua kekuatan besar memasuki arena pertandingan pemilu presiden putaran kedua. Kakuatan internal kini menjadi benteng utama dalam memperkuat posisi dan pengaruh untuk memeprtahankan kepentingan masing-masing atas nama destinasi revolusi, demokrasi dan kebebasan. Ikhwanul Muslimin yang tetap komitmen melanjutkan perjuangan revolusi, kini tidak lagi banyak mendapat respon positif dari beberapa kalang liberalis dan barisan Nasionalis yang mengaku pro revolusi, bagi mereka IM bukan representase dari destinasi revolusi yang sebenarnya, sebab itu pengamat politik Dosen Cairo University, Hamzawy berpendapat setelah kemengan Musrsi dan Syafik pada putaran pertama, agar Mursi mundur untuk pencalonan tahap kedua dan mengusung dari barisan Nasioanalis yang diwakili oleh Hamdin Shobbahi, demi memperlancar gerakan revolusi,tegasnya. Barisan Nasionalis mengganggap bahwa keduanya adalah pilihan yang pahit. Sementara beberapa pembesar dari kekuatan islamis-Salafi secara tegas mendukung Mursi, Abul Hazim misalnya, ex- calon Presiden yang diskualifikasi pada Pilpres putaran pertama memberikan dukungannya kepada Mursi, begitupun pebesar-pembesar salafi yang lain, seperti, Yasir Burhami, Abdullah Maksud dll, walaupun dalam tataran aplikasinya tidak memebrikan pengaruh yang signifikan. Barangkali begitulah resiko ketika berhadapan dengan benturan kepentingan (Clash of interest), semua akan menjadi semu, demokarsi dan dan kebebasan secara perlahan menjadi kabur kembali, orientasi revolusi tercermin dalam kontroversi idiologi dan kepentingan individu dan kelompok. Dan mungkin juga sebagai reaksi dari kontrak politik yang belum jelas antara partai politik dan kelopok-kelompok yang berkepntingan. Barisan pro revolusi yang pecah menjadi tiga kekuatan besar (IM, Salafi dan Nasionalis) saat ini masih perang dingin dan tidak menunujukan kekuatan dan kesatuannya dalam menghadapi Militer. Diplomasi politik antar-partai tidak harmonis, yang terjadi adalah masing-masing menunjukan jargon dan kepentingan tanpa negosiasi dan diplomasi. Pada waktu yang bersamaan, militer yang pada awalnya di percaya oleh masyarakat untuk memegang kekuasaan sementara, ia menyusun strategi pelan tapi pasti (soft power). ingin mengambil alih kekuasan dan pemerintahan secara konstitusional, menggiring pandangan masyarakat agar tetap percaya pada militer walaupun tidak sepenuhnya. Semakin lama militer terlihat bermain kasar tapi masih mengatasnamakan undang-undang dan lembaga hukum, beberapa kasus yang memicu controversial dan banyak pertanyaan diantaranya adalah pengunduruan waktu hukuman dan keputusan hukaman pernjara seumur hidup terhadap Mubarak, selain itu , yang memicu konflik adalah pembubaran 1/3 dari anggota parlimen Islamis serta pembatalan undang-undang parlimen oleh mahkamah konstitusi militer tentang ketidak-absahannya Syafik dalam pertarungan pilpres, dengan meloloskannya secara mudah. Masih banyak lagi konspirasi militer yang tidak mudah untuk dianalisa, kekuatan internal militer serta dukungan luar, baik dari beberapa Negara arab maupun Amerika membuatnya semakin percaya diri untuk tetap melangkah menuju kursi presiden demi mempertahankan status quo. Katakutan militer dengan komitmen ikhwan untuk menuntaskan seluruh persoalan pra era dan pasca revolusi dan akan memberi hukuman tegas kapada yang bersalah tanpa terkecuali membuat militer merasa terancam sehingga merasa keberatan untuk menyerahkan kekuasaan dan pemerintahan kepada Ikhwan, berbagai strtegi dan carapun di lakukan dengan menggunakan politik Machiavellian yang menghlalkan segala cara. Wallahu A`lam