Inilah wajah Kopral Gilad Shalit, yang ditawan pejuang Palestina dan namanya menjadi topik panas hingga memicu ketegangan besar antara Palestina dan Israel.
Culik menculik kini menjadi trend baru dalam perjuangan Palestina. Sejak penculikan serdadu Israel pertama atas nama Kopral Gilad, pejuang Palestina kini bahkan telah berhasil menculik calon tentara Israel di Tepi Barat.
Dan kini, Batalyon Syuhada Al-Aqsha, kembali menyatakan keberhasilannya menculik warga Israel di Tepi Barat. Total orang Israel yang diculik hingga saat ini 3 orang. Para pejuang Palestina sampai saat ini tetap pada pendirian, pembebasan para tawanan Israel tidak bisa dilakukan secara cuma-cuma, melainkan harus ditukar dengan pembebasan tawanan Palestina di penjara Israel, utamanya anak-anak dan kaum wanita, yang total jumlahnya sekitar 10 ribu tahanan.
Penculikan seperti ini dilakukan setelah PM Israel Olmert menegaskan bahwa aksi militer yang dilakukannya terhadap Ghaza akan berlangsung minimal tiga hari. Dalam waktu tersebut, ia yakin berhasil membebaskan serdadunya yang ditawan. Tapi kenyataan tampaknya berubah, karena saat ini pejuang Palestina justeru berhasil menculik dua orang Israel yang lain, di Tepi Barat.
Dan biasanya, memang pejuang Palestina tidak pernah peduli dengan ancaman Israel. Terlebih dari waktu ke waktu, pejuang Palestina semakin mampu memiliki kekuatan untuk menyerang pertahanan Zionis Israel. Aksi spektakuler terakhir mereka, adalah operasi “Wahm Mutabaddid” yang diklaim oleh tiga kelompok pejuang, yakni Batalyon Izzuddin Al-Qassam dari Hamas, Batalyon Nasher Shalahuddin, dan Batalyon Perlawanan Rakyat Palestina. Dalam serangan itu, dua serdadu Israel tewas dan satu orang berhasil dibawa kabur.
Kini, trend penculikan kembali muncul sebagai satu senjata yang akan digunakan dalam intifadhah. Dahulu, penculikan ini pernah dijadikan senjata juga oleh pejuang Palestina, tapi sepuluh tahun terakhir, taktik penculikan tidak pernah terdengar lagi. Sejumlah pengamat Palestina mengatakan, strategi penculikan ini memiliki kekuatan politik besar, yang lebih besar ketimbang aksi syahid yang sebelum ini dilakukan dengan target penjajah Israel. Setidaknya, efektifitas strategi ini terbukti dengan meletupnya kemarahan Israel atas penculikan seorang serdadu.
Meskipun AS telah menyatakan sikap, bisa memahami serangan Israel terhadap Ghaza dengan dalih untuk menyelamatkan warganya, tapi sikap seperti itu tidak dilakukan negara lain. Perancis misalnya, tidak terburu mengecam penawanan serdadu oleh pejuang Palestina. Alasannya, yang diculik adalah tentara bukan warga sipil. Saat ini, Perancis tengah berupaya mencari jalur dialog dengan pejuang Palestina untuk pembebasan sandera.
Menurut Ibrahim Abul Haeja, pengamat politik Palestina sekaligus pakar pergerakan Islam di Timur Tengah, “Penawanan serdadu Israel dari pihak perlawananan Palestina, sebenarnya merupakan strategi yang permanen dan menjadi senjata yang digunakan selama intifadhah pertama (1987-1994). Dalam rentang itu, sejumlah aksi penculikan dilakukan oleh pejuang Palestina terhadap militer Israel.”
Menurut Abul Haeja, ada sejumlah faktor penting yang mendorong kelompok pejuang Palestina melakukan strategi penculikan. Antara lain, besarnya jumlah tawanan Palestina di penjara Israel yang melewati angka psikologis yakni 10 ribu orang. Para pejuang menilai, Israel tak mungkin membebaskan para tawanan itu secara gratis. Karena itulah, mereka melakukan strategi penculikan sebagai aksi menekan pembebasan para tawanan Palestina.
Alasan kedua, menurut Abul Haeja, karena banyaknya faktor politik dan keamanan Palestina yang membutuhkan berbagai cara untuk membalas dan menekan Israel. “Israel terus menerus melakukan serangan. Yahudisasi Al-Quds juga tetap berlangsung. Pemboman membabi buta oleh angkatan udara Israel dengan target sipil Palestina. Semua ini akan semakin membakar semangat pejuang Palestina untuk membalas dengan cara yang mampu mereka lakukan.” Salah satunya adalah, Strategi Penculikan! (na-str/iol,ikhol)